Ad (728x90)

Kamis, 30 September 2010

YATIM

YATIM HARUS PINTAR
Oleh : Rofiq Abidin

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al Baqarah : 220 )

Tak ada kata berhenti untuk belajar, setidaknya itu yang wajib tertanam dalam pribadi setiap muslim. Kita kaya atau miskin memiliki hak yang sama untuk belajar dan menempuh jenjang pendidikan yang kita inginkan. Islampun sangat menganjurkan kita untuk mencari ilmu seluas- luasnya dan belajar sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai ke liang lahat. Bagaimana dengan generasi muslim?, banyak yang tertinggal atau telah banyak yang berkarya? Empati sosial kitalah yang merasakan dan memberi solusi konkret bagi kelangsungan kehidupan generasi kita, khususnya anak yatim dan anak-anak kurang mampu (dhuafa’) yang telah ditakdirkan dengan segala keterbatasan dan ketidakseimbangan kasih sayang. Siapakah yang akan memperhatikan pendidikan mereka? Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, namun setiap muslim yang memiliki kesadaran dan kepekaan sosial tinggi yang dapat memperhatikan kehidupan mereka secara layak, baik pendidikannya maupun kesejahteraannya. Mereka adalah saudara kita yang harus mendapatkan sentuhan kepedulian dan kasih sayang kita, selayaknya keluarga kita sendiri. Mereka juga harus pintar, sehat dan sejahtera sebagaimana anak kita. Sebuah rasa peduli yang dapat mengantarkan seseorang mengulurkan tangannya untuk membantu sesama, apalagi mereka adalah generasi muslim yang memiliki keterbatasan dana.

HAK ANAK YATIM
Dalam setiap rezeki yang kita dapatkan ada sebagian hak dari anak yatim dan orang miskin yang wajib kita keluarkan untuk mensucikan harta dan membersihkan jiwa kita. Bukan atas dasar paksaan, tapi kesadaran dan keikhlasan kita memberikannya karena memang itu adalah hak mereka. Adapun bentuk dari pada hak-hak anak yatim sebagai berikut :

1. Memperoleh Kesejahteraan Pangan yang Cukup
Makanan menjadi kebutuhan pokok kita setiap hari. Begitupun juga anak-anak yatim dan orang-orang kurang mampu tetaplah memerlukan makan untuk kelangsungan hidup mereka dengan segala keterbatasan yang ada. Konsep zakat, infaq dan shodaqoh yang diajarkan oleh Islam menjadi solusi konkret untuk menangani permasalahan ini, hanya perlu kepedulian semua umat untuk mensucikan hartanya plus pengelolaan yang profesional dan proporsional sehingga mereka tidak terlantar di jalan-jalan, di bawah kolong jembatan dan di tempat-tempat kumuh lainnya, namun tercukupi kebutuhannya secara merata. Mari kita resapi Pesan Ilahi dalam Q.S. Al Insaan : 8,


“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (Al Insaan : 8)

2. Mendapatkan Pendidikan yang Layak
Setiap anak mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan, baik yang miskin ataupun yang kaya, yang masih punya orang tua maupun yang yatim, yang cacat maupun yang normal. Mereka semua adalah generasi Bangsa Indonesia, yang menentukan masa depan negara ini, jadi mereka mesti mendapatkan pendidikan yang layak sebagai bentuk persiapan menghadapi zaman ke depan yang lebih menantang. Namun masih kita jumpai generasi penerus kita yang putus sekolah karena keterbatasan biaya, tanggung jawab siapakah? Kita sebagai Umat Islam mestilah tergugah untuk meringankan beban mereka, memberikan hak mereka meraih pendidikan yang layak sampai jenjang yang tinggi sehingga memiliki kecerdasan dan kemandirian berekonomi. Coba kita cermati Firman Allah berikut ini :

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.” (QS. An Nisa’ : 6)

3. Mendapat Perlakuan yang Baik dan Adil
Sebagai Umat Islam, kita sangat dilarang oleh Allah memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang, menghardik dan merendahkan martabat mereka sehingga membuat mereka terluka. Mengabaikan mereka berarti juga kita memperlakukannya dengan tidak baik, mereka memiliki hak kasih sayang dari kita karena mereka tidak memiliki kasih sayang yang lengkap sebagaimana anak-anak yang lengkap kedua orang tuanya. Maka membahagiakan anak yatim adalah kebajikan yang diperintahkan oleh Allah, sebagaimana pesan Allah dalam firman-Nya.

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (secukupnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An Nisa’ : 8)

Hak anak yatim yang telah dipaparkan di atas merupakan kewajiban kita yang mampu berkesempatan untuk berinfaq, berzakat dan bersodaqoh karena disetiap rezeki yang kita dapatkan ada kewajiban yang kita harus disisihkan untuk kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan anak yatim dan orang-orang kurang mampu. Kerelaan dan kepekaan kita sangat menentukan kesejahteraan mereka, baik lahiriah maupun bathiniah.

Memandaikan Anak Yatim adalah Tugas Kita
Bangsa Indonesia akan terus eksis di dunia manakala terus melahirkan generasi yang tangguh dan memiliki patriotisme tinggi. Sedangkan kualitas generasi bangsa ini sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan yang ada, pendidikan dalam arti seluas-luasnya. Berkaitan dengan hal tersebut, anak yatim sebagai bagian dari generasi penerus bangsa ini perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, karena memang pendidikan yang berkualitaspun memerlukan biaya yang cukup banyak, seiring dengan perkembangan program-programnya demi melahirkan generasi berkualitas. Umat Islam juga telah diingatkan oleh Allah agar tidak meninggalkan anak-anak (generasi) lemah, dalam makna luas; lemah imannya, lemah akalnya dan lemah fisiknya, pendek kata generasi yang loyo tak berdaya. Cobalah renungi firman Allah berikut ini :

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak (generasi) yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An Nisa’ : 9)

Jika kita cermati, masih banyak anak-anak sebagai generasi bangsa yang masih belum mengenyam pendidikan formal karena keterbatasan mereka. Kita diam atau peduli akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup mereka dan negara Indonesia bahkan secara tidak langsung juga berpengaruh bagi kita, misalnya saja, anak yang berbuat kriminal karena ingin membiayai adik-adiknya yang telah ditinggal bapaknya yang meninggal dunia, ada lagi anak putus sekolah yang mengemis di jalanan karena harus membantu orang tuanya yang sakit, dan masih banyak kisah-kisah mengharukan pada anak jalanan. Siapakah yang harus memperhatikan meraka? mamandaikan mereka? Kita, kitalah yang memiliki rasa peduli, memiliki kesempatan untuk berzakat! Bukankah pesan Rasulullah SAW sebelum wafat adalah “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanu - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Anak yatim yang ada disekeliling kita adalah tanggung jawab kita, mereka harus pintar, mereka juga harus sehat. Kepedulian kitalah yang akan memandaikan mereka dan menyehatkan mereka. Wallahu a’lam bissowab. 

KEPEMIMPINAN

SETIAP DIRI ADALAH PEMIMPIN
oleh : Rofiq Abidin

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah : 30)

Setiap kita pasti pernah dan akan menjadi pemimpin dalam kelangsungan kehidupan kita, baik sengaja maupun tidak kita sadari. Dalam pekerjaan, sekolah, masyarakat dan keluarga serta negara membutuhkan kepemimpinan untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Manusia telahpun ditunjuk oleh Allah sebagai seorang "khalifah” yang secara eksplisit disebutkan dalam firman-Nya Q.S. Al Baqarah ayat 30 tersebut. Kepercayaan Allah kepada manusia untuk menjadi khalifah bukan tanda dasar, walaupun para malaikat meragukan kemampuan manusia karena dinilai akan “menumpahkan darah dan berbuat kerusakan”. Khalifah adalah pengemban amanah Allah, seorang yang memiliki komitmen teguh dan konsisten terhadap amanah Allah yang diembankan kepadanya. Jadi seorang mukmin yang memiliki jiwa kepemimpinanlah yang akan dapat menjaga dan memperjuangkan amanah Allah. Maka untuk dapat memimpin orang lain mestilah bisa memimpin dirinya sendiri. Mari kita renungi Sabda Rosulullah SAW :

Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di rumah dan bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harta tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. ( Dari Abdullah bin Umar Rasulullah Saw.)

Memimpin Diri Sendiri
Menurut Dr. Muhammad Syafii Antonio dalam bukunya yang berjudul “Muhammad SAW The Super Leader Super Manager”, self leadership (kemampuan memimpin diri sendiri) merupakan dasar dari segala kepemimpinan. Jadi jelas untuk dapat memimpin suatu kaum/umat mestilah mampu memimpin dirinya sendiri. Ada tiga hal yang harus diraih untuk mewujudkan self leadership (kemampuan memimpin diri sendiri), antara lain :
1. Self discipline (menegakkan disiplin atas diri pribadi) merupakan aktivitas yang lumayan berat karena berkaitan dengan diri sendiri dan tidak melibatkan orang lain. Maksudnya adalah kadang kita lebih mudah memimpin suatu lembaga atau sebuah organisasi daripada memimpin diri kita sendiri, hal itu dikarenakan jika kita melakukan kesalahan dalam memimpin sebuah organisasi atau lembaga, ada orang lain ataupun anggota organisasi yang akan selalu mengingatkan (mengoreksi) kita, bahkan tidak jarang memberikan sanksi terhadap kesalahan yang kita lakukan, sehingga kita menjadi sadar dan bisa belajar dari kesalahan tersebut.
2. Self excuse (memaafkan diri sendiri). Kita semua pasti pernah khilaf atau mungkin lalai/lupa yang terkadang tidak kita sengaja, jadi kita mesti memafkan diri sendiri dengan terus melakukan evaluasi dan pembenahan-pembenahan.
3. Self punishment (menghukum diri sendiri) secara benar dan proporsional atas kesalahan yang kita perbuat namun bersifat edukatif adalah merupakan sarana pengingat yang efektif bagi kita untuk terus dapat menguasai diri dan berbenah. Hal ini juga untuk membentuk jiwa tanggung jawab terhadap amanah kita.

Peranan Pemimpin dalam Islam
Dalam Perspektif Islam, seorang pemimpin mempunyai pengaruh sangatbesar bagi kelangsungan apa dan siapa yang dipimpinnya sehingga terus meraih tujuan yang diharapkan bersama. Ada dua peran seorang pemimpin yang harus terus dibangun :
1. Sebagai khadim (pelayan)
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa bersahaja dan menjadi pelayan bagi kaum yang dipimpinnya. Seorang pemimpin sejati mampu mengoksplorasi kemampuan/potensi dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras, dia berfikir lebih kuat, lebih mendalam dari pada orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Rosulullah SAW, bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang yang dipimpinnya.
2. Sebagai Muwajjih (pemandu)
Pemimpin adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya untuk menunjukkan jalan yang terbaik agar selamat sampai tujuan, senantiasa mengerti dan empati kepada kaumnya sehingga mampu memberikan pandangan rasional dan mudah dimengerti. Bukan sebaliknya, cuek dan kurang empati terhadap kaumnya sehingga mereka dibuat bingung mengejawentahkan kebijakannya. Allah berpesan kepada para pemimpin dalam firman-Nya sebagai berikut :

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah : 24)

Rahasia Kekuatan Pemimpin
Kepemimpinan yang sukses telahpun dicontohkan oleh para nabi dan para rasul, mereka senantiasa menjadi insan-insan terbaik di antara kaumnya, memiliki khazanah ilmu dan wawasan yang luas, serta skill yang mumpuni disamping spiritualnya yang kuat. Beliau selalu menjadi contoh dan teladan bagi kaumnya, baik komitmennya, cara berpikir, maupun amal ibadahnya. Berikut ini adalah rahasia kepemimpinan dalam Islam :
1. Kekuatan iman, ilmu dan wawasan yang luas
Keteguhan iman seseorang akan mempengaruhi optimismenya mencapai tujuan organisasi/institusi, sehingga tetap tegar dalam ujian, tidak tampak “under pressure” di depan kaumnya. Ia lebih tampak percaya diri. Dukungan ilmu dan wawasan yang luas akan menjadikan dirinya penuh strategi dan ulet dalam menyelesaikan tantangan yang dihadapinya.
2. Amal dan kerja keras
Seorang pemimpin tidak hanya menyuruh kaumnya bekerja, berbuat dan beribadah, namun justru ia menjadi seorang yang penuh kerja keras, berpikir lebih kuat dan beramal ibadah lebih rajin daripada kaumnya sehingga kewibawaannya akan muncul dengan sendirinya. Tanpa bersuara lantang pun para pengikut akan sadar tanggung jawabnya. Itu karena amalan dan kerja kerasnya telah menjadi kekuatan dahsyat yang mendorong kaumnya untuk bekerja lebih keras sesuai dengan amanahnya.
3. Keteladanan
Pemikiran dan langkah lebih maju adalah penampilan sebenarnya, bukan hanya ungkapan verbal tapi mampu membuktikan dan mempertanggungjawabkan pernyataannya. Hal ini akan menjadi teladan yang mampu menginspirasi, menyejukkan jiwa dan mengobarkan semangat para pengikutnya.

Seorang pemimpin sejati terus berpikir, bertindak dan mengembangkan pribadinya untuk bisa memimpin dirinya dan mengendalikan serta memberdayakan kaum/ pengikutnya mencapai visi dan misinya, bersikap teguh dan disiplin dengan perencanaannya sehingga melahirkan generasi-generasi yang kokoh, penuhkomitmen, memiliki skill dan spiritual yang mumpuni dan penuh tanggung jawab terhadap amanahnya.

KEPEMIMPINAN

SETIAP DIRI ADALAH PEMIMPIN
oleh : Rofiq Abidin

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah : 30)

Setiap kita pasti pernah dan akan menjadi pemimpin dalam kelangsungan kehidupan kita, baik sengaja maupun tidak kita sadari. Dalam pekerjaan, sekolah, masyarakat dan keluarga serta negara membutuhkan kepemimpinan untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Manusia telahpun ditunjuk oleh Allah sebagai seorang "khalifah” yang secara eksplisit disebutkan dalam firman-Nya Q.S. Al Baqarah ayat 30 tersebut. Kepercayaan Allah kepada manusia untuk menjadi khalifah bukan tanda dasar, walaupun para malaikat meragukan kemampuan manusia karena dinilai akan “menumpahkan darah dan berbuat kerusakan”. Khalifah adalah pengemban amanah Allah, seorang yang memiliki komitmen teguh dan konsisten terhadap amanah Allah yang diembankan kepadanya. Jadi seorang mukmin yang memiliki jiwa kepemimpinanlah yang akan dapat menjaga dan memperjuangkan amanah Allah. Maka untuk dapat memimpin orang lain mestilah bisa memimpin dirinya sendiri. Mari kita renungi Sabda Rosulullah SAW :

Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di rumah dan bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harta tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. ( Dari Abdullah bin Umar Rasulullah Saw.)

Memimpin Diri Sendiri
Menurut Dr. Muhammad Syafii Antonio dalam bukunya yang berjudul “Muhammad SAW The Super Leader Super Manager”, self leadership (kemampuan memimpin diri sendiri) merupakan dasar dari segala kepemimpinan. Jadi jelas untuk dapat memimpin suatu kaum/umat mestilah mampu memimpin dirinya sendiri. Ada tiga hal yang harus diraih untuk mewujudkan self leadership (kemampuan memimpin diri sendiri), antara lain :
1. Self discipline (menegakkan disiplin atas diri pribadi) merupakan aktivitas yang lumayan berat karena berkaitan dengan diri sendiri dan tidak melibatkan orang lain. Maksudnya adalah kadang kita lebih mudah memimpin suatu lembaga atau sebuah organisasi daripada memimpin diri kita sendiri, hal itu dikarenakan jika kita melakukan kesalahan dalam memimpin sebuah organisasi atau lembaga, ada orang lain ataupun anggota organisasi yang akan selalu mengingatkan (mengoreksi) kita, bahkan tidak jarang memberikan sanksi terhadap kesalahan yang kita lakukan, sehingga kita menjadi sadar dan bisa belajar dari kesalahan tersebut.
2. Self excuse (memaafkan diri sendiri). Kita semua pasti pernah khilaf atau mungkin lalai/lupa yang terkadang tidak kita sengaja, jadi kita mesti memafkan diri sendiri dengan terus melakukan evaluasi dan pembenahan-pembenahan.
3. Self punishment (menghukum diri sendiri) secara benar dan proporsional atas kesalahan yang kita perbuat namun bersifat edukatif adalah merupakan sarana pengingat yang efektif bagi kita untuk terus dapat menguasai diri dan berbenah. Hal ini juga untuk membentuk jiwa tanggung jawab terhadap amanah kita.

Peranan Pemimpin dalam Islam
Dalam Perspektif Islam, seorang pemimpin mempunyai pengaruh sangatbesar bagi kelangsungan apa dan siapa yang dipimpinnya sehingga terus meraih tujuan yang diharapkan bersama. Ada dua peran seorang pemimpin yang harus terus dibangun :
1. Sebagai khadim (pelayan)
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa bersahaja dan menjadi pelayan bagi kaum yang dipimpinnya. Seorang pemimpin sejati mampu mengoksplorasi kemampuan/potensi dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras, dia berfikir lebih kuat, lebih mendalam dari pada orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Rosulullah SAW, bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang yang dipimpinnya.
2. Sebagai Muwajjih (pemandu)
Pemimpin adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya untuk menunjukkan jalan yang terbaik agar selamat sampai tujuan, senantiasa mengerti dan empati kepada kaumnya sehingga mampu memberikan pandangan rasional dan mudah dimengerti. Bukan sebaliknya, cuek dan kurang empati terhadap kaumnya sehingga mereka dibuat bingung mengejawentahkan kebijakannya. Allah berpesan kepada para pemimpin dalam firman-Nya sebagai berikut :

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah : 24)

Rahasia Kekuatan Pemimpin
Kepemimpinan yang sukses telahpun dicontohkan oleh para nabi dan para rasul, mereka senantiasa menjadi insan-insan terbaik di antara kaumnya, memiliki khazanah ilmu dan wawasan yang luas, serta skill yang mumpuni disamping spiritualnya yang kuat. Beliau selalu menjadi contoh dan teladan bagi kaumnya, baik komitmennya, cara berpikir, maupun amal ibadahnya. Berikut ini adalah rahasia kepemimpinan dalam Islam :
1. Kekuatan iman, ilmu dan wawasan yang luas
Keteguhan iman seseorang akan mempengaruhi optimismenya mencapai tujuan organisasi/institusi, sehingga tetap tegar dalam ujian, tidak tampak “under pressure” di depan kaumnya. Ia lebih tampak percaya diri. Dukungan ilmu dan wawasan yang luas akan menjadikan dirinya penuh strategi dan ulet dalam menyelesaikan tantangan yang dihadapinya.
2. Amal dan kerja keras
Seorang pemimpin tidak hanya menyuruh kaumnya bekerja, berbuat dan beribadah, namun justru ia menjadi seorang yang penuh kerja keras, berpikir lebih kuat dan beramal ibadah lebih rajin daripada kaumnya sehingga kewibawaannya akan muncul dengan sendirinya. Tanpa bersuara lantang pun para pengikut akan sadar tanggung jawabnya. Itu karena amalan dan kerja kerasnya telah menjadi kekuatan dahsyat yang mendorong kaumnya untuk bekerja lebih keras sesuai dengan amanahnya.
3. Keteladanan
Pemikiran dan langkah lebih maju adalah penampilan sebenarnya, bukan hanya ungkapan verbal tapi mampu membuktikan dan mempertanggungjawabkan pernyataannya. Hal ini akan menjadi teladan yang mampu menginspirasi, menyejukkan jiwa dan mengobarkan semangat para pengikutnya.

Seorang pemimpin sejati terus berpikir, bertindak dan mengembangkan pribadinya untuk bisa memimpin dirinya dan mengendalikan serta memberdayakan kaum/ pengikutnya mencapai visi dan misinya, bersikap teguh dan disiplin dengan perencanaannya sehingga melahirkan generasi-generasi yang kokoh, penuhkomitmen, memiliki skill dan spiritual yang mumpuni dan penuh tanggung jawab terhadap amanahnya.

AKHIRAT

Kejarlah Akhirat,
Jangan Lupakan Dunia

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al Qashash : 77)

Keyakinan ketuhanan menjadi landasan spiritual setiap manusia bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan (Rabb) yang selanjutnya diejawentahkan dalam pengamalan-pengamalan ibadah maupun muamalah dalam kehidupan sehari-hari. Peribadatan ritual spiritual sebagai core activities ‘urusan akhirat’ serta aktivitas-aktivitas duniawi harus kita tempatkan secara benar, tepat dan proporsional sehingga pada akhirnya sama-sama memperoleh kebaikan. Perbuatan kita hanya akan dibedakan menjadi dua yakni baik dan buruk, jika kita mengerjakan kebaikan maka pasti akan mendapatkan kebaikan pula pada akhirnya, jika kita berbuat keburukan/kerusakan dimuka bumi maka otomatis keburukan yang kita terima, dan yang lebih buruk lagi jika kita merasa berbuat baik namun ternyata rusak amalan kita di hadapan Allah. Maka dari itu kejarlah akhirat kita dengan penuh kekhusukan dan keikhlasan namun jangan lupakan kebahagiaan duniawi sebagai sarana untuk mengabdi kepada yang memberi hidup yakni Allah SWT.

Mengejar Akhirat
Kekhusyukan dan keikhlasan beribadah kepada Allah akan menentukan kerelaan (keridhoan) Allah menerima pengabdian kita, maka inilah yang dimaksud dengan ibadah secara benar dan tepat, tidak ada kesia-siaan di dalamnya. Coba kita merenung sejenak, selama hidup berapa kali kita melakukan sholat atau ibadah lainnya secara khusyuk dan ikhlas? Ini adalah tolak ukur kita untuk meningkatkan kualitas ibadah dan keimanan kita. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan agar amalan yang kita kerjakan mendapat ridho dari Allah SWT :
a. Niat,
Apa saja yang kita amalkan tergantung niat yang tersimpan dalam hati, jika niat kita lurus maka itulah yang akan kita dapatkan, jika sebaliknya, tidak akan mendapatkan apa-apa selain apa yang kita niatkan. Untuk itu niatkan amal ibadah kita dengan lurus karena Allah SWT. Mari kita renungkan niat kita melalui pesan Ilahi dalam firman-Nya berikut ini :
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Asy Syuura : 20)
b. Keilmuan,
Beramal ilmiah berilmu amaliah, apa saja ilmu yang kita dapatkan marilah kita amalkan agar tidak menemukan kesia-siaan, dan apa saja yang kita amalkan dasarkanlah kepada keilmuan agar tidak tersesat, karena tidak akan pernah sama orang-orang yang berbuat, beramal dan ataupun beribadah yang berdasarkan ilmu dan yang tidak berdasarkan ilmu sebagaimana pesan Ilahi dalam firman-Nya :
“Ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar : 9)
c. Keikhlasan/ketulusan
Bersih hati dalam mengerjakan amal sholeh kita akan menjadi kunci diterima atau tidaknya amalan kita di sisi Allah, karena Allah benar-benar menyeru kepada hambaNya untuk beribadah dengan murni, tulus ikhlas sehingga senantiasa lurus dan terbimbing imannya. Iblispun tidak akan pernah bisa menggoda hamba-hamba Allah yang selalu ikhlas.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (Ikhlash) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah : 5)
d. Kekhusyukan
Allah akan menurunkan ketenangan jika kita benar-benar khusyuk dalam beribadah, kesejukan hati akan kita dapatkan jika kita benar-benar khusuk berdzikir dan Allah ridho bagi hambaNya yang lurus dalam mengerjakan agama Allah.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum : 30).

Meraih Kebahagiaan di Dunia
Rumus mendapatkan kesuksesan telah banyak diteorikan oleh para pebisnis dan orang-orang sukses pengagum dunia dengan cara yang beragam dari cara yang halal bahkan sampai cara yang tidak diperkenankan oleh agama, tinggal bagaimana ikhtiar kita, ketekunan dan keuletan kita. Mimpi-mimpi yang telah bersemayam secara mendalam bukanlah sesuatu yang tiba-tiba tapi yang pasti perlu perjuangan yang gigih. Jika kita biasa menyikapi dunia hasilnya juga biasa, kita luar biasa menyikapinya maka hasilnya sesuai usahanya.
“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” ( Al Lail : 4)
Bermacam-macam ikhtiar kita merupakan gambaran kreativitas dan kegigihan, namun perlu kita perhatikan agar langkah dan kesuksesan yang kita raih dapat memberikan ketenangan untuk bathin kita. Belum tentu orang yang bergelimang harta dapat merasakan ketenangan karena ada beberapa yang hal yang diabaikan. Orang-orang yang sukses dalam mencari penghidupan di dunia, tidak semuanya mulia disisi Allah, coba kita cermati peringatan Allah kepada manusia yang lalai yang digambarkan dalam firman-Nya :
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am : 44)

Coba kita cermati ayat tersebut, ternyata ada sebuah kesengajaan dari Allah membuka pintu-pintu kesuksesan orang-orang yang lalai kepada peringatan Allah, itu dimaksudkan untuk menguji apakah dia segera sadar dengan kesalahannya ataukah semakin jauh dari jalan Allah. Jika orang tersebut tidak juga sadar maka Allah akan mengakumulasi dosa-dosanya sehingga ia mendapatkan adzab yang pedih secara tiba-tiba. Kemudian pada akhir perenungannya ia menyadari betapa melupakan peringatan Allah ternyata menjauhkan dirinya dari Tuhannya, namun kesadarannya tersebut justru membuat keputusasaan yang dalam karena telah merasa jauh dan tak bisa mengubah dirinya, subhanallah. Maka dari itu bagi kita yang telah mampu meraih kesuksesan dunia, perlu kiranya memperhatikan beberapa hal berikut ini :
1. Bersyukur, semua yang kita miliki adalah anugerah Allah dan tak lepas dari campur tangan Allah, maka janganlah lupa mensukurinya. Hanya orang yang mau bersyukur yang bisa merasakan betapa apapun yang ia peroleh di dunia adalah karunia Allah, selanjutnya pasti Allah tambah nikmatnya. Perasaan syukur ini akan benar-benar membuat hati kita merasakan kebahagiaan yang mendalam dan penuh ketenangan.
2. Tidak Keluar dari nilai-nilai kewahyuan
Apapun ikhtiar yang kita lakukan jika tidak keluar dari nilai-nilai kewahyuan akan sangat berdampak kepada kebahagiaan hati kita. Namun jika usaha kita keluar dari nilai-nilai wahyu maka akan sangat terasa ganjil dan sangat terasa tidak nyaman. Karena sesungguhnya kebahagiaan adalah apa-apa yang kita kerjakan dan apa-apa yang kita dapatkan selalu sehati dengan suara hati kita, merdeka dan menenangkan jiwa.
3. Mengeluarkan hak orang-orang miskin
Segala apa yang kita dapat di dalamnya ada bagian/ hak dari orang-orang yang tidak mampu/ dhuafa’, ada bagian untuk jalan Allah. Kita akan merasakan kebahagiaan jika kita ikhlas berbagi dengan sesama, rasa syukur kita akan semakin bertambah karena kita sadar betapa Allah masih memberi kita lebih dari orang-orang yang kita santuni.
Dunia merupakan sarana, bukan tujuan. Apapun yang kita usahakan raihlah semuanya dengan cara yang benar. Sebaik-baik orang yang ahli ibadah, masih tetap membutuhkan dunia sebagai sarana mengabdi kepada Allah. Sehebat-hebatnya orang yang suskses di dunia pasti masih butuh ketenangan spiritual. Untuk itu raihlah kebahagiaan akhirat namun janganlah kita mengabaikan kebahagian di dunia.

WAKTU

MENSYUKURI WAKTU
Oleh : Rofiq Abidin

“Demi masa.(1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,(2)
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran(3)”

Pada pergiliran siang dan malam terdapat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah. Detik demi detik waktu yang kian terus melaju seolah mengejar kita untuk segera melangkah menggapai impian. Mengingat apa yang telah kita lakukan tak mungkin kembali diputar ulang untuk kemudian diubah, yang bisa kita lakukan adalah mengevaluasi diri terhadap masa sebelumnya (lampau) kemudian mengambil pelajaran dan hikmah dari kejadian, peristiwa dan sikap kita. Selanjutnya masa kini kita isi dengan langkah dan amal nyata penuh kerja keras sehingga masa depan akan menuai hasil realistis sesuai dengan amaliah kita. Dalam Al Qur’an Surat Al Ashr : 1-3, Allah bersumpah demi masa, adalah menunjukkan bahwa kita harus menghargai waktu yang dianugerahkan kepada kita karena waktu merupakan kesempatan emas untuk menggapai apapun yang kita kehendaki. Hanya manusia yang menghargai waktu yang tidak akan merugi. Berikut ini adalah konsep dari Allah Swt untuk meraih keberuntungan/ kesuksesan :

 Optimis
Memiliki keyakinan yang kuat terhadap diri sendiri dan cita-cita yang hendak dicapai, tak ada keraguan, kebimbangan dan kegamangan tentang harapan karena telah mengukurnya sesuai dengan segala kemampuan dan kesempatan yang dimiliki.
 Kerja Keras
Mempunyai etos kerja yang tinggi dan selalu menghargai waktu yang diberikan oleh Allah Swt, mengutamakan produktifitas kerja dan efisiensi waktu yang ada.
 Disiplin terhadap Kebenaran
Memegang teguh prinsip kebenaran dan menegakkan nilai-nilainya dalam aktivitas pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat secara disiplin.
 Sabar
Kegigihan, keuletan dan pantang menyerah terhadap pekerjaan dan tugas yang diemban, tidak bersifat pasif tapi aktif, kreatif dan inovatif mengatasi berbagai masalah dan ujian yang dihadapi.

Jika keempat sikap dan perilaku yang dianjurkan Allah tersebut dapat diamalkan secara berkesinambungan niscaya manusia tidak akan mengalami kerugian, tapi justru memperoleh kesuksesan secara duniawi maupun ukhrowi.

Waktu dan Tujuan Hidup
Sebagai ciptaan Allah, kita tidak pernah meminta hidup dan dihidupkan, namun hidup merupakan pemberian, anugerah Allah sebagai Al Khaliq (Maha Pencipta) yang menghendaki kita hidup. Untuk itu kita mesti sadar sesadar- sadarnya bahwa kita hidup memiliki tujuan yang haq dan masa yang telah ditentukan. Makhluk Allah dijamin tak ada yang abadi, namun pasti akan menemukan masa (kesempatan hidup). Dan lebih cerdasnya jika kita hidup ini adalah untuk menggapai tujuan hidup yang haq sehingga akan senantiasa menjalani waktu sesuai dengan tujuan hidup yang dikehendaki-Nya. Coba kita cermati firman Allah sebagai berikut :

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar Ruum:8)

Cita-cita hidup manusia boleh saja berbeda-beda sebagaimana mimpi yang telah tertanam dalam benak masing-masing, namun hendaknya cita-cita itu tidak keluar dari tujuan hidup sebagai manusia menurut kehendak-Nya sehingga tidak sia-sia apa saja yang hendak dan yang akan dicapainya. Lantas apa sebenarnya tujuan hidup menurut kehendak Allah Swt? Tujuan hidup menurut Allah dapat kita pelajari dalam QS. Al Baqoroh : 207, yakni mencari ridho Allah. Ya itulah kehendak Allah, kita dihadirkan di muka bumi ini adalah untuk menggapai ridho-Nya. Setiap waktu kita harus selalu berada dalam frame ridho Allah dan menjunjung tinggi nilai-nilai keridhoan-Nya serta sebaliknya menolak apa saja yang keluar dari garis mardhotillah. Hidup kita pasti akan menemui kenyamanan, kedamaian dan ketenangan jika kita tetap berada dalam jalur kehendak-Nya. Maka gunakanlah anugerah waktu dengan senantiasa berbuat dan beramal sesuai tujuan hidup kita semestinya, mencari ridho Allah, sehingga kelak kita akan menghadap-Nya sebagaimana yang Allah kehendaki.

Manajemen Waktu sebagai Bentuk Syukur
Sebelum kita membahas manajemen waktu, mari kita pahami tabiat waktu agar kita dapat benar-benar memahami esensi waktu tersebut, yakni : tidak mungkin berputar kembali, harta termahal, dan menjadi modal unik yang tidak dapat disimpan tanpa digunakan, karena waktu terus bergulir. Manajemen waktu berarti menata diri untuk senantiasa hidup dengan efisiensi waktu, disiplin dan produktif, sehingga bisa mendapatkan hari esok yang lebih baik. Allah pun telah mengingatkan kita untuk memperhatikan hari esok sebagaimana dalam firman Allah Surat Al Hasyr : 18 sebagai berikut :

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa-apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Begitu lugas Allah mengajari hamba-Nya untuk menghargai waktu. Seorang mukmin harus memiliki ketaqwaan terhadap Allah sehingga selalu disiplin terhadap aturan-aturan dan regulasi yang ditetapkan oleh Allah SWT. Mukmin yang bertaqwa juga mesti memiliki visi jauh ke depan dan selalu memperhatikan pekerjaannya, apakah telah sesuai dengan visi hidupnya serta kehendak Allah ataukah tidak. Sebab jika melenceng, kita hanya akan menemui mimpi semu yang semakin pudar. Itulah pentingnya pesan Ilahi terhadap kita tentang pentingnya memperhatikan apa yang telah kita kerjakan untuk hari esok dan visi hidup yang telah kita tetapkan. Sebagaimana tabiat waktu yang tidak bisa berputar kembali, tak mungkin dapat merubah masa lampau, tapi bisa menyiapkan hari esok dengan mempersiapkan, men-setting dan action pada masa kini yang sedang dijalani. Dalam Ajaran Islam telah diberikan sebuah pelajaran berharga untuk menghargai waktu, maka pribadi muslim hendaknya bisa memenej waktu sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah yang masih memberikan kesempatan untuk hidup dan menikmati kehidupan serta segala nikmat yang ada, sebagaimana tersirat dalam surat Al Furqon : 62,
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.”
Syiar Islam menempatkan ibadah ritual pada bagian-bagian waktu dalam sehari dari pagi hingga malam dan pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Sholat lima waktu diwajibkan dari saat memulai hingga mengakhiri aktivitas dalam sehari, dan waktu-waktunya selaras dengan perjalanan hari. Dalam Syariat Islam dinyatakan bahwa Malaikat Jibril diutus oleh Allah untuk menetapkan waktu-waktu awal dan akhir pelaksanaan sholat lima waktu agar menjadi panduan dan sistem yang baku dan cermat dalam menata kehidupan islami. Di samping itu, juga berfungsi untuk mengukur detik-detik sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Coba kita cermati, mulai dari bangun tidur dianjurkan bangun pagi untuk sholat subuh, memulai semua dengan menyebut nama Allah, selanjutnya kita bekerja keras dan tengah hari (siang) sejenak otak dan jiwa kita dikehendaki untuk istirahat dengan membasuh muka kita selanjutnya kita sholat dhuhur, kemudian sore menjelang matahari terbenam kita sholat ashar, bermakna mengevaluasi apakah seharian kita telah produktif, telah rampungkah pekerjaan kita, kemudian ketika matahari terbenam kitapun membasuh muka dan dahi kita untuk berwudhu menjernihkan fikiran dan selanjutnya melaksanakan sholat magrib, mensyukuri apa-apa yang telah kita kerjakan dan yang telah kita dapatkan, dan menjelang tidurpun kita mengingat Allah, sholat isya’, kita pasrahkan diri dan hasil ikhtiar kita sehari penuh kepada Allah. Begitulah kiranya penulis mencoba memaknai waktu sholat yang selaras dengan perjalanan hari. Dengan sholat kita akan menemukan banyak makna untuk bisa menghargai waktu sehingga kita dapat mengaturnya secara efektif dan efisien yang pada akhirnya kita akan mendapatkan hari esok yang lebih baik, lebih bahagia dan lebih barokah sebagaimana yang kita inginkan.

 

We are featured contributor on entrepreneurship for many trusted business sites:

  • Copyright © RAHMATAN LIL ALAMIN 2015
    Distributed By My Blogger Themes | Designed By Templateism