Ad (728x90)

Senin, 07 Februari 2011

CINTA ALLLAH

Cintaku Cinta-Mu
Oleh : Rofiq Abidin

"Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutlah aku, pasti Allah cinta kepadamu". (QS. Ali Imran: 31)


Keindahan cinta yang bersemayam dalam benak masing-masing manusia melandasi sebuah sikap empatik, rasa ini hadir sejak Allah menciptakan nabi Adam AS pun juga pasangannya Hawa, dan mengilhami kisah romantisme anak cucunya selanjutnya. Menurut saya, cinta merupakan gabungan sifat Ilahiyah antara ar Rahman (pengasih) dan ar Rahim (penyayang). Jika seseorang mencintai seseorang lain maka mereka akan saling mengasihi dan saling menyayangi, mudah saling memberi dan mudah saling peduli, karena inilah yang melandasi sikap empatik kepada apa yang dicintai.
Segala cinta pada dasarnya tidak diperkenankan oleh Allah melebihi cinta kepada-Nya, karena bisa membutakan hati manusia, bahkan bisa menjelma menjadi berhala yang dapat menyesatkan pengabdiannya. Untuk itu sebagai mukmin yang berlandaskan prinsip-prinsip Ilahiyah mestilah mendalami cinta ini dengan benar, jangan tergoda oleh rayuan iblis yang selalu siap membuat perangkap indah demi terjerumusnya manusia kedalam kedzaliman dan kenistaan. Coba kita perhatikan peringatan Allah berikut ini : 

Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.  (QS. At Taubah : 24)

Allah Maha Cinta
Manusia hadir di dunia atas kehendak-Nya, lahir dari rahim ibu yang senantiasa menjaga dengan penuh kasih sayang. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa jabang bayi yang ada dalam kandungan ini lemah, namun Allah sang Khalik selalu menjaganya dan mencukupi kebutuhannya, Allah meletakkannya dalam plasenta, yaitu ‘rumah’ yang nyaman selama dalam kandungan. Allah juga mencukupkan kebutuhan oksigen, makan dan minumnya dengan cara-cara fantastis yang menakjubkan. Selanjutnya Allah menumbuhkan rasa cinta kepada orang tua dan kerabatnya, dari rasa inilah naluri merawat dan membesarkan terus berkembang hingga dewasa. Subhanallah, sebuah ekosistem cinta yang begitu menakjubkan dan menggambarkan betapa Allah mengasihi manusia sejak lahir, mencintai karya terbaik-Nya yakni kita, manusia, dengan segala kesempurnaannya. Sifat-sifat insaniyah yang kemudian diilhamkan kepada kita, menjadikan kita terus mengasah kemampuan, keahlian dan emosional kita serta rasa cinta yang dapat menyeimbangkan semua. Allahlah yang menyadarkan kita manakala kita salah, Allah pula yang selalu datang menolong kita, pada saat teman, keluarga bahkan mungkin sahabat meninggalkan kita. Allah yang selalu mencurahkan cinta-Nya bagi kita yang terus mengingat-Nya dan bersabar dengan ujian-Nya. Ingatlah bahwa dalam setiap ujian itu ada nilai hadiah dari Allah atas prestasi kita. Tapi perlu diingat bahwa kecintaan Allah kepada manusia yang diuji juga diiringi godaan iblis yang tak kunjung henti menggoda manusia hingga bobrok keikhlasannya. Ikhlaskan saja, Allah akan datang membantu dan menolong kita, karena Allah maha cinta.
 Allah maha cinta, mencintai hamba-Nya dengan mencurahkan rahmatnya, Allah lebih bijak dan tidak egois seperti manusia, tapi Allah maha tahu perasaan kita, sehingga dapat memberikan yang terbaik untuk setiap manusia.
Cintai Karena Cinta-Nya
Cinta menjadikan kita merasa nyaman, tenang dan terjaga. Empatik muncul secara alami, tulus dan apa adanya, tak ada yang memaksa dan tak ada yang mendoktrin, semuanya mengalir indah. Bagaimanapun itu dan apapun itu yang menjadikan kita berbahagia dan tenteram landasilah dengan cinta Allah, pasti akan aman dan tidak terseret oleh hawahu (hawa nafsu), keindahannya murni dan tidak semu. Jika kita membencipun, itu karena Allah tidak mencintai sikap-sikap dzalim yang dilandasi hawa nafsu.
Mukmin sejati menomorsatukan cinta Allah dibanding apapun yang ada di dunia. Mukmin lebih yakin kekuatan cinta Allah dari pada mengikuti perasaan semu, karena manusia pasti memiliki salah dan emosional sehingga akan ada kekecewaan, namun dalam cinta Allah tidak akan kita dapatkan kekecewaan, yang ada jika kita mencintai Allah sepenuh hati adalah pertolongan. Allah maha cinta, mencintai hamba-Nya dengan mencurahkan rahmatnya, Allah lebih bijak dan tidak egois seperti manusia, tapi Allah maha tahu perasaan kita, sehingga dapat memberikan yang terbaik untuk setiap manusia. Maka apapun yang kita cintai landaskanlah karena cinta Allah, kita pasti selamat. Coba perhatikan pesan Ilahi berikut ini :

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa, bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya. (QS. Al-Baqarah : 165)

Mencintai Allah sangat berkaitan dengan al-Wala’ dan al-Bara’ (loyalitas dan berlepas diri).  Yang dimaksud dengan  al-Wala’  ialah memelihara loyalitas kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Sedangkan yang dimaksud dengan al-Bara’ ialah berlepas diri dari kaum kuffar dan munafiqin. Karena loyalitas mukmin hendaknya kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman, maka seorang mukmin hendaknya memohon agar dirinya dipertemukan dan dipersatukan dengan kalangan sesama orang-orang beriman yang mencintai Allah.
Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk menjaga rasa cinta kita kepada Allah, yaitu:
1.      Mengikuti Sunnah Rasul
Allah mengajarkan dalam Q.S. Ali Imran : 31 agar kita meyakini dan mengikuti Rasulullah, dalam artian mengikuti sunnah-sunnahnya yang telah menjadi teladan dalam kehidupan kita. Tidak perlu sungkan apalagi malu meneladani Rasulullah karena alasan yang tidak jelas karena jelas bahwa Allah akan cinta kepada kita jika kita mengikuti Rasulullah.  
2.      Mengutamakan Allah di atas apapun
Banyak hal dan pihak yang berjasa bagi kita dan memudahkan kita hidup di dunia, namun jangan lupa bahwa apapun yang memudahkan kita ada kehendak Allah, karena kemurahan-Nya. Oleh karena itu, untuk menjaga cinta Allah tetap bersemayam dalam benak kita utamakanlah kepentingan Allah di atas apapun kepentingan keduniaan. Demikian juga dengan cinta kepada diri kita sendiri. Diri kita yang di dalamnya ada hawa nafsu bisa menjadi musuh utama kita, manakala kita tertutup oleh kabut emosi dan keindahan semu semata. Mengorbankan cinta diri demi meraih cinta Allah merupakan sebuah pengorbanan besar, karena itulah bukti kecintaan mukmin kepada Allah. Banyak sekali contoh tentang hal ini, sebut saja Masithoh, ia tidak hanya mengorbankan keluarganya namun dirinya, betapa ia yakin dengan keimanan dan berharap cinta Allah tetap dalam rengkuhan jiwa raganya.

3.      Senantiasa ikhlas dan sabar menghadapi ujian
Ujian akan terus datang demi kualitas keimanan, namun godaan iblis juga tidak pernah berhenti dengan jurus-jurus yang semakin inovatif, tangkal saja dengan jiwa ikhlas kita. Memang tidak mudah, namun mencoba lebih baik dari pada pasrah. Kita akan tahu bahwa kita mencintai Allah manakala dihadapkan pilihan yang sulit, ada sebuah perjuangan batin, namun mukmin akan lebih mengutamakan Allah, dengan senantiasa mendasarkan prinsip dan sikapnya karena Allah, bukan mengikuti ketakutan dan kekhawatiran karena ia yakin cinta Allah akan mendatangkan pertolongan, ia akan benar-benar mempraktekkan sabar dan orang-orang yang sabar akan dapat mendekap cinta Allah. ”Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS Ali Imran ayat 146)
Kelembutan dan kedahsyatan cinta akan mewarnai jejak kehidupan kita dan memberi arti bagi kesempurnaan sikap kita. Mari raih cinta Allah karena kita benar-benar dicintai-Nya sejak sebelum kita hadir di dunia, Ia yang peduli dan menjaga kita, mengajari kita menemukan jalan kebenaran dan semua karunia-Nya tiada putus-putusnya kita rasakan sampai detik ini. Sungguh Allah maha cinta, jadilah kita mukmin yang dicintai-Nya, dengan tetap sabar mencintai-Nya, mengikhlaskan semua kehendak-Nya dan berpegang teguh kepada keimanan dan prinsip-prinsip wahyu yang telah menuntun kita. Dengan mencintai Allah yakinlah semua akan baik-baik saja dan pasti akan datang pertolongan-Nya.

BERQURBAN



Bukan Sekedar Daging dan Darah
oleh : Rofiq Abidin

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Hajj : 37)


Pensyariatan qurban merupakan manifestasi syukur kepada Allah atas segala nikmat yang dikaruniakanNya kepada kita. Secara simbolik qurban merupakan penyembelihan hewan qurban (kambing, unta, sapi/kerbau) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tradisi mempersebahkan persembahan kepada Tuhan telah dikenal sejak lama, baik berupa hewan sampai kepada manusia ataupun yang lainnya. Sebut saja kisahnya Abdul Muntalib bin Hisyam, kakek Rasulullah SAW pernah bernadzar jika dikaruniai sepuluh anak laki-laki maka akan menyembelih salah satu putranya disisi ka’bah sebagai qurban. Ketika putranya telah genap sepuluh dan menginjak akil baligh, maka jatuhlah undian kepada Abdullah, ayah Rasulullah. Saat Abdul Munthalib hendak menunaikan nadzarnya kaum Quraish berusaha melarangnya agar tidak diikuti generasi selanjutnya, maka Abdul Munthalib menggantinya dengan 100 unta. Pensyariatan qurban  yang telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS yang selanjutnya diikuti oleh Muhammad SAW dan ummatnya memiliki esensi yang berbeda, karena persembahan hewan yang telah disembelih tidak dibiarkan begitu saja, tapi diberikan kepada mustahik (yang berhak menerima) sehingga qurban disini menyiratkan makna sosial yang berefek langsung kepada kehidupan masyarakat. Disamping itu makna secara spiritual adalah suatu kepasrahan dan kataatan yang mendalam kepada perintah Allah SWT.

Spirit Qurban
Kesadaran berqurban merupakan gerakan taqorub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan menyisihkan sebagian rezekinya untuk diqurbankan. Semangat untuk mencapai keralaan (keridhoan) Allah menjadi pendorong utama seseorang dalam menunaikan syariat qurban. Melakukan qurban (dalam arti yang lebih luas) semestinya tidak hanya pada saat Idul Adha. Melainkan di setiap saat kita harus dapat mengurbankan apa yang kita miliki sebagai upaya taqarrub kita kepada Allah. Ada tiga makna yang dapat menyiratkan spirit qurban bagi kelangsungan hidup kita :

  1. Spiritual-transendental
Pemaknaan spiritual-transendental bersifat vertikal, sebagaimana maknanya secara bahasa qaruba, Akar kata ini membentuk kata: qurb (dekat), taqarrub (mendekatkan diri) aqriba’ (kerabat). Menurut para pakar bahasa Arab, qurban bermakna suatu sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Nabiyullah Ibrahim AS sosok tauladan dalam berqurban, coba kita renungkan saat beliau berserah diri atas perintah Allah untuk menyembelih anaknya, ketaatannya begitu kuat, namun tetap bijaksana mengajak anaknya untuk bermusyawarah atas perintah Allah ini, tatkala telah sama-sama berserah diri maka Ibrahim sang Kholilullah membuktikan kecintaan dan ketaatannya kepada Allah diatas yang lainnya. Allah mengabadikan kisahnya dalam firmanNya :

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).  Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ash Shaaffaat : 103-105)

Inilah spirit setiap pequrban, bahwa kita berqurban adalah merupakan pembuktian kecintaan dan ketaatan kepada Allah sehingga kita merasakan betapa Allah telah dekat dan Allahpun akan mendekat membimbing iman dan taqwa kita selanjutnya.

  1. Sosial humanis
Pemaknaan sosial humanis dapat kita lihat dalam prinsip pendistribusian daging qurban kepada mereka yang berhak menerima (mustahik). Namun ini akan bermakna manakala diserta dengan refleksi ketaqwaaan kepada Allah. Artinya melakukan qurban dalam bingkai niat karena Allah sehingga dapat menumbuhkan solidaritas sosial kepada masyarakat yang membutuhkan dan mengentaskan mereka kepada taraf hidup yang lebih baik. Inilah bedanya dengan tradisi-tradisi terdahulu, persembahan mereka kepada Tuhan tidak adanya fungsi secara horisontal. Namun qurban memiliki fungsi secara horisontal, sehingga makna sosial humanisnya lebih terasa bagi pequrban maupun yang berhak menerimanya. Namun refleksi komitmen sosial tidak hanya dalam urusan ”pendistribusian saja” tapi meliputi apa saja yang menjadi rintangan dalam amar ma'ruf nahi munkar yang berdemensi sosial sehingga qurban tidak hanya dalam nuansa ibadah mahdah, namun juga dalam naunsa sosial. Ini sejalan dengan pemahaman Imam Al-Ghazali daIam karya monumentalnya Ihya' Ulumuddin bahwa makna luhur ibadah qurban menurutnya adalah terdistribusikannya nilai-nilai humanis (kemanusiaan) secara universal bukan sekedar distribusi daging.

  1. Psikologi humanis
Ibadah qurban melambangkan bahwasanyya sifat hewani yang melekat pada diri manusia, seperti kejam, serakah, dan egois, yang perlu dibuang dengan tebusan penyembelihan hewan sebagai upaya pemenuhan panggilan dan perintah Allah. Sehingga darah yang mengalir dari hewan qurban, hendaknya dapat membuat kita insyaf, bahwa hewan saja rela berkorban demi menuruti kemauan manusia karena kekuasaannya. Maka sewajarnyalah jika manusia semestinya mau berkorban di jalan Allah, yang kekuasaan-Nya jelas lebih besar dibandirig kekuasaan manusia.

Ketakwaanlah Kuncinya
Jelaslah bahwa pensyariatan qurban bukan hanya sekedar ”penyembelihan hewan qurban (mengalirkan darahnya) dan pendistribusian saja” namun mengandung sebuah nilai yang sangat tinggi, yakni tiga spirit yang saya sebutkan di atas, taqarrub kepada Allah, menumbuhkan nilai solidaritas sosial dan membuang sifat-sifat hewani yang melekat pada kita akan mengantarkan kepada sebuah jalur qurban yang benar yakni dilandasi oleh ”ketaqwaan” yang tinggi kepada Allah, karena itulah yang dapat mengantarkan keridhoan Allah SWT. Dengan taqwa seseorang akan mulya disisi Allah, dan dengan taqwa seseong akan mendapat kemulyaan dihadapan manusia. Maka bagi siapa yang memiliki kesempatan berqurban bersyukurlah, segera tunaikan. Sebagaima sabda Rasulullah SAW berukut ini :

"Dari Abi Hurairah radliyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa memiliki kelapangan (kemampuan) kemudian tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat led kami." (HR. Alunad, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, AI-Hakim, sanadnya hasan, lihat Ahkamul Iedain hal. 26).

Oleh karena itu setiap kita yang memiliki kesempatan, marilah berqurban. Niatkan dengan lurus karena Allah kita pasti akan mandapatkan manfaat yang besar baik secara vertikal (kedekatan kepada Allah), horisontal (menolong sesama yang berhak menerima) dan secara psikologis dapat membunuh sifat-sifat hewani kita yang egois. Dengan demikian pemaknaan qurban dalam konteks kekinian perlu kita refleksikan dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga akan terasa lebih relevan dan applicable bilamana tertuju dalam tormat yang sesuai dengan kebutuhan riil sebagai bentuk rasa kemanusiaan dan kebersamaan kita.


Damai dengan memaafkan


MEMAFKAN PUNCAK KEMENANGAN
oleh : Rofiq Abidin

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
(QS. Al Baqarah : 263)

Perayaan Idul Fitri merupakan aksentuasi perasaan kemenangan Ummat Islam yang telah menempa mental dan keimanan selama satu bulan penuh dengan shaum (puasa). Bagi mukmin yang benar-benar menunaikan shaum dengan khusyuk dan ikhlas maka akan mendapatkan dampak luar biasa, bukan hanya pada Bulan Ramadhan namun setelah Bulan Ramadhanpun akan memberi manfaat, baik secara spiritual yang dapat meningkatkan kedekatan dengan Allah, maupun secara psikologis dengan penataan emosionalnya. Empati spiritual dan empati sosial yang telah tertanam pada masa ujian Ramadhan akan mengantarkan seseorang menemukan kesejatian kemanusiaannya. Perayaan tahunan Idul Fitri merupakan ekspresi kemenangan, kegembiraan, dan kesenangan. Kemenangan didapatkan setelah menakhlukkan “hawa nafsu” selama Bulan Ramadhan. Kegembiraan didapatkan bagi mereka yang telah diampuni dosanya. Kesenangan didapatkan bagi mereka yang berkumpul dan bersilaturrohim dengan keluarga dan sanak saudara. Pada saat inilah momen Idul Fitri mendorong untuk saling memaafkan, menghilangkan rasa dendam dan melupakan masa kelam dengan seseorang, selanjutnya membuka hati untuk memulai lembaran silaturohim yang bernilai kebaikan.

Refleksi memaafkan
Memaafkan merupakan kesediaan hati untuk menerima kesalahan masa lalu dan siap menata masa depan yang lebih baik. Memaafkan bukanlah sekedar tindakan lahiriyah untuk berjabat tangan tanpa merefleksi kembali sikapnya, namun merupakan komitmen bathin untuk menerima dengan tulus kesalahan-kesalahan masa lalu. Secara filosofis bermakna kehendak untuk hidup dengan tanpa menengok kebelakang dan memupus kebencian dan dendam yang pernah membara. Memaafkan memilki kekuatan besar, seseorang akan terbebas dari beban masa lalu, sehingga setelah memaafkan seseorang akan bisa bertindak lebih tegas pada masa kini, bekerjasama dan mengadakan perbaikan-perbaikan tindakan. Perkataan dan sikapnya akan berusaha ma’ruf (baik) sehingga muncullah kesalehan sosial dan keharmonisan dalam menjalin hubungan persaudaraan. Idul Fitri merupakan momen yang baik untuk merefleksikan kata “maaf”. Apabila pada masa lalu dipenuhi dengan konflik dan rasa dendam, hubungan yang renggang dan persaudaraan yang putus, maka di hari yang fitri ini kita memulai momen untuk mengembalikan ikatan persaudaraan tersebut. Tidak ada manusia yang tidak pernah bersalah/berdosa, yang ada adalah manusia yang bersih dari dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah (Istighfar) dan minta maaflah kepada sesama sehingga secara lahiriah dan batiniah akan terbebas dari dosa.

Memberi Maaf merupakan Kemenangan Besar
Memaafkan kesalahan orang lain terkadang terasa mudah manakala kesalahannya tidak seberapa besar, namun jika masih tersimpan dendam boleh jadi memberi maaf akan terasa berat. Pada dasarnya kesalahan yang dilakukan manusia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Allah SWT, tanpa kita balaspun Allah Maha Tahu dan akan membalas perbuatan jahat yang dilakukan seseorang terhadap kita. Allah Maha Melihat dan Menghitung setiap kesalahan dan dosa hamba-Nya. Namun bagi hamba-Nya yang mau bertaubat dan memperbaikinya, Allahpun juga mengampuninya, jadi Allah yang Maha Mengingat setiap kesalahan kita dan bisa mengampuni kesalahan kita karena rahmat-Nya.
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An Nisa’: 79)
Apapun nikmat yang kita rasakan datangnya dari Allah, kehendak Allah, karena rahman dan rahim-Nyalah kita mendapatkan kenikmatan. Adapun musibah yang menimpa kita akan menyiratkan dua makna, apakah musibah ini sebagai ujian atas keimanan kita ataukah hukuman (balasan setimpal atas kesalahan). Jadi kita tidak perlu bingung kalau kesalahan orang lain kepada kita tidak mendapat balasan, kita beri dia maaf, kita berdo’a agar dia menemukan kesadaran atas kesalahannya. Itulah tindakan seorang mukmin yang suka perdamaian bukan dendam. Allah Maha Menyaksikan siapapun hamba-Nya yang berbuat dosa, baik yang tersembunyi (rencana di hati, prasangka buruk) maupun yang nyata-nyata dilakukan. Maka momen Idul Fitri adalah puncak kemenangan jika kita dapat memaafkan kesalahan orang lain, karena dengan memaafkan kita telah membunuh rasa dendam kita, rasa kecewa kita, rasa dongkol kita dan akan berubah menjadi sebuah kepuasan bathin yang besar jika kita sanggup melakukannya dengan tulus ikhlas. Kita akan benar-benar merasa menang karena telah mengalahkan hawa nafsu kita.
Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa. (QS. An Nisa’ : 149)
Setelah kita melakukan shaum sebulan lamanya, maka hari kemenangan Idul Fitri akan kita sempurnakan dengan memberi maaf atas kesalahan saudara, teman dan sahabat. Sebuah kemenangan yang besar dan akan berdampak besar bila kita sanggup melakukannya. Ada beberapa langkah untuk membimbing kita kepada puncak kemenangan dengan memaafkan, yaitu :
  1. Mengingat sekaligus memaafkan
Pemaafan cenderung hanya dipahami dengan sekedar melupakan kesalahan orang lain saja, padahal perlu untuk mengingat sekaligus memaafkan, karena proses ini sebagai muhasabah, yakni saling menghitung atau menimbang, sehingga masing-masing saling instropeksi diri dan menilai secara moral atas dampak perbuatan yang diperbuatnya. Refleksi ini akan menimbulkan penyesalan yang dalam atas kesalahan yang diperbuat dan memudahkan kita untuk memberi maaf karena kesadarannya.
  1. Memutuskan kompensasi
Kita tidak perlu kompensasi untuk memberi maaf, tulus saja itulah intinya memberi maaf, bukan minta ganti rugi atas apa yang telah diperbuat kepada kita, namun bukan berarti menghilangkan proses tindakan hukum, tapi keikhlasan kita menerima kenyataan bahwa kesalahannya adalah sebuah pendewasaan bagi dirinya.
  1. Membangkitkan empati
Tidak ada jaminan seseorang tidak bisa berbuat salah, sebaik-baik seseorang pasti  memiliki potensi berbuat jahat dan sejahat-jahatnya seseorang pasti mempunyai naluri untuk berbuat baik. Jadi sikap empati kepada pelaku kejahatan dengan memaafkan berarti memberikan kesempatan baginya untuk memperbaiki diri.
  1. Memperbaharui hubungan
Memberi maaf, berarti kesiapan untuk hidup berdampingan secara damai dengan orang yang telah kita beri maaf. Memaafkan akan memberi manfaat luar biasa karena keharmonisan akan terjalin kembali dan mensinergikan kemampuan menata masa depan yang lebih cemerlang.
Mencapai puncak di hari kemenangan dengan memberi maaf atas kesalahan orang lain akan memberikan manfaat kesalehan sosial yang berkelanjutan. Berilah maaf, kita akan terbebas dari rasa dendam, rasa benci dan rasa kecewa. Ikhlaskan saja semuanya, pasrahkan kepada Allah atas apa yang diperbuatnya, karena Allah tidak tidur dan Maha Kuasa. Semoga ia segera menyadari kesalahannya dan menata kembali keharmonisan untuk meraih harapan yang lebih baik. Kita akan merasakan kemenangan yang luar biasa karena telah mengalahkan hawa nafsu yang berupa dendam, benci dan kecewa.

 

We are featured contributor on entrepreneurship for many trusted business sites:

  • Copyright © RAHMATAN LIL ALAMIN 2015
    Distributed By My Blogger Themes | Designed By Templateism