Ad (728x90)

Sabtu, 05 November 2011

Filled Under:

Memaind Set Haji


Menghajikan Hati
oleh : Rofiq Abidin
 Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim, barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji  adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
(QS. Ali Imran : 97)

Haji menjadi sebuah cita-cita mulia bagi segenap Umat Islam, namun tidak semua dapat menjaga cita-cita itu. Melihat teman, sahabat atau kerabat kita yang sedang akan menunaikan ibadah haji, timbul kerinduan yang membuncah untuk memenuhi panggilan Allah SWT. Hati bergetar mendengar kalimat talbiyah seraya mendo’a semoga suatu saat nanti dapat memenuhi panggilan Allah tersebut. Hati yang selalu rindu untuk memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji inilah yang insya Allah dapat menguatkan kemauan dan kemampuan (istito’ah) sampai terwujud. Terkadang kesuksesan seseorang diukur dari seberapa besar dan lengkap  rumahnya, seberapa mewah mobilnya atau seberapa tinggi pangkatnya, namun dalam hatinya tidak terketuk sedikitpun untuk menunaikan ibadah ini sehingga haji menjadi panggilan Allah yang kesekian kalinya, setelah kita dapat memenuhi keinginan dunia kita, sedangkan kemampuan yang menjadi syarat utama menunaikan haji tidak didukung oleh kemauan kuat kita. Menghajikan hati mungkin memang hanya sebuah istilah, namun hati yang senantiasa rindu untuk menunaikan haji dan orang yang telah berhaji selanjutnya hati dan sikapnya sesuai dengan pengamalan haji adalah hati yang lurus dengan seruan Allah. Mengapa dikatakan di dalam haji “man istatha’a ilaih sabila (bagi yang mampu menempuhnya)?” karena haji merupakan ibadah jasmani dan harta. Ibadah haji perlu mengeluarkan harta untuk berpindah (melakukan perjalanan) dari negerinya ke wilayah Al Haram di tanah suci, karena ritual (syiar) haji dilaksanakan di sana, karena itu ia sangat memerlukan harta (biaya) yang banyak, karena itu Allah berfirman: “Bagi yang mampu melakukan perjalanan haji”. 
Gelar Haji atau Haji Mabrur
Sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat Indonesia bahwa bagi siapa yang telah menunaikan  rukun islam yang kelima ini, yakni haji, maka masyarakat memberikan gelar  Haji atau Hajjah (bagi wanita).  Mabrur berasal dari kata birr, birrun; artinya “baik, bersih dan diterima”. Maka haji mabrur secara terminologis bermakna “haji yang baik, bersih dan diterima oleh Allah SWT”. Haji mabrur merupakan sebuah predikat tertinggi dari kegiatan melaksanakan ibadah haji. Untuk mendapatkannya, setiap calon haji harus melalui perjuangan ibadah yang sungguh-sungguh, terutama dalam hal penguasaan hati. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah 197 :

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Tiga rambu-rambu yang harus dipatuhi agar seorang calon haji bisa meraih predikat haji mabrur: 
1.      Jangan sekali-kali mengucapkan kata kotor yang merendahkan martabat orang lain.
2.      Tidak boleh berbantah-bantahan atau membuat permusuhan dengan siapapun sesama jamaah.
3.      Tidak boleh berbuat fasik, yaitu merugikan orang lain. Bahkan sekalipun dengan alasan untuk mendapatkan pahala yang lebih besar, ternyata justru menyakiti orang lain. Misalnya berebutan pada waktu usaha menuju Hajarul Aswad di sisi Ka’bah dan Raudhah di Mesjid Nabawi Madinah, dua situs sempit yang justru paling disesaki jamaah. Atau demi mengejar pahala sholat arbain (40 waktu) tetapi tidak peduli dengan anggota jamaah yang sakit untuk mengantarkannya ke dokter / rumah sakit.
Ketiga rambu di atas sering menjadi ujian di tengah pelaksanaan ibadah haji, dengan berbekal takwa dilatih bersabar, tetap khusyuk tanpa diganggu penyakit hati. Ujian lainnya yang tak kalah penting adalah menghindari godaan berbelanja barang-barang sebagai buah tangan saat kembali ke tanah air. Apalagi, tawaran berbelanja ini sudah muncul sejak para jamaah mendarat di tanah suci, belum lagi kalau ingat titipan dari sanak keluarga dan teman di kampung halaman. Perkara yang sebenarnya manusiawi tetapi apabila tidak pada proporsinya bisa menggeser fokus hati dalam beribadah haji. Ingatlah kita datang kembali ke tanah air bukan ingin dipanggil Pak Haji atau Bu Hajjah, tapi sepulang dari tanah suci bathin dan langkah kita menuntut untuk meningkatkan amaliah kita melebihi orang yang belum melakukan ibadah haji, bahkan mungkin masyarakat juga akan menuntut kehajian kita. Bukan gelar atau predikat haji yang kita cari, tapi predikat “mabrur” dari Allah yang kita harapkan. Maka kita dipanggil haji atau tidak yang penting Allah memberi predikat mabrur. Bagaimana Allah memberi predikat itu, tentunya Allah mengevaluasi mulai dari niat kita, pelaksanaan ibadahnya dan pengamalan sesudah melaksanakan haji.

Menghajikan Hati Kita
Mind set haji tetaplah kita tanam dalam-dalam, jangan hanya kita pandai me-mind set mobil, rumah atau gemerlap dunia lainnya,  yang kita anggap sebagai ukuran kesuksesan, sehingga kewajiban yang satu ini dinomersekiankan. Karena jika diri kita sudah diberi Allah “kemampuan”, tinggal kita cari kesempatan untuk menunaikannya. Maka sebelum dan sesudah menunaikan ibadah haji marilah menghajikan hati kita, dalam makna bersihkanlah hati kita dengan memurnikan niat,  kemudian kendalikan hati kita saat menunaikannya dan hiasilah hati kita dengan amalan-amalan haji sepulang dari haji. Bagi yang belum bisa menunaikan ibadah haji secara ritual, hajikanlah hati anda dengan terus menjaga cita-cita untuk menunaikannya, kuasai rukun dan amalan-amalan haji serta kerjakanlah amalan-amalan haji dalam kehidupan sehari-hari. Adapun rukun  haji yang dapat kita ambil hikmahnya adalah sebagai berikut :
1.      Ihram, yaitu pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji atau umroh dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umroh di miqat.
2.      Wukuf, yaitu berdiam diri, dzikir dan berdo'a di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah.
3.      Tawaf Ifadah, yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah.
4.      Sa’i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali, dilakukan sesudah Tawaf Ifadah.
5.      Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i.
6.      Tertib, yaitu mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal.

Lima rukun haji tesebut di atas marilah kita kuasai dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ihram merupakan permulaan yang baik, mari kita mulai semua amalan keseharian dengan niat yang baik, dengan sarana yang suci dan halal. Jadi biasakan kita mencari sarana/fasilitas dengan cara yang halal dan suci, karena semua aktivitas kita dalam rangka beribadah kepada Allah semata. Selanjutnya, wukuf, sering-seringlah kita berdzikir karena Allah sangat menganjurkan untuk memperbanyak dzikir, bukan do’a saja yang diperbanyak. Dzikir dan do’a ibarat hak dan kewajiban. Mari kita perbanyak dzikir dan perjelas do’a agar mind set kita untuk menunaikan haji dapat Allah ijabah. Kemudian tawaf, mengelilingi baitullah, mari kita “saba” (datangi) masjid dan kita usir nafsu malas dengan melempari syetan yang terus berbisik mengajak kepada kejahatan dan kedholiman. Sa’i, adalah berlari-lari kecil, kita ingat betapa sejarahnya, bahwa Ibu Hajar adalah seorang yang tidak pernah berhenti berikhtiar. Jadilah penyabar walau dalam keadaan kering, ditinggal orang yang kita sayangi, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar berikhtiar dan akan mencukupkan keperluannya. Tahallul, disamping makna kerapian, maka tahallul bisa kita ambil hikmah dengan mencukur pemikiran-pemikiran yang kotor atau rencana-rencana jahat, sehingga kita gunakan kecerdikan kita untuk kebaikan. Yang terakhir adalah tertib, mari kita jalankan semua amalan kita dengan tertib berdasarkan ilmu dan sesuai dengan prinsip-prinsip Ilahiyah.

Setidaknya ini adalah ikhtiar penulis untuk tetap me-mind set haji, agar suatu saat dapat memenuhi panggilan Ilahi. Karena Haji adalah panggilan, pun dunia juga memanggil-manggil kita untuk memilikinya, namun panggilan Haji menjanjikan kenikmatan yang melebihi dunia. Mudah-mudahan kerinduan haji yang membuncah dalam hati kita dapat terwujud saatnya nanti sebelum Allah memanggil nyawa kita. Semoga bermanfaat.

Rofiq Abidin

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

 

We are featured contributor on entrepreneurship for many trusted business sites:

  • Copyright © RAHMATAN LIL ALAMIN 2015
    Distributed By My Blogger Themes | Designed By Templateism