Ad (728x90)

Kamis, 25 Agustus 2011

Sabar itu bergerak


Tak Ingin Jawaban “Sabar”
Oleh : Rofiq Abidin
 “Pak, saya sedang banyak masalah, tapi saya gak mau dijawab hanya dengan kata ‘sabar’”, begitulah ungkapan kesal salah seorang teman saya, karena telah lelah mencari jawaban dari teman-teman dekatnya yang selalu dijawab sabar...’. Ya, kata sabar sering kita gunakan untuk menasehati teman, sahabat atau kerabat kita yang sedang terkena musibah, bencana atau bahkan masalah. Saya mengawali dari ungkapan berikut, “pada dasarnya setiap musibah yang menghampiri kita mengandung dua makna, yang pertama musibah itu datang karena efek perbuatan kita sebelumnya, sehingga itu adalah peringatan dari Allah, kedua, musibah itu datang karena Allah menguji kualitas diri kita melalui cara-Nya, lantaran kita akan diberikan anugerah yang lebih besar”. Dari jawaban ini dia justru makin penasaran.Selanjutnya apa yang harus saya lakukan”, ungkapnya. Segala sesuatu ada toriq (jalan keluar)nya, maka yang pertama, yakinlah bahwa masalah kita pasti ada solusinya, kenapa? karena tidak mungkin Allah menciptakan soal tanpa ada jawaban. Kedua, tenanglah, maksudnya ceritakan semua masalahmu kepada Allah. Ketiga, bangkitlah lalu tawakallah, karena Allah maha meluaskan dan menyempitkan sesuatu. Allah sudah berjanji dalam firman-Nya :

"Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia akan mencukupkan baginya (kebutuhannya).." (QS. Ath-Thalaq:3)

Subhanallah, masalah memang datang tak kenal kasihan, tak tahu apakah kita sudah siap menghadapinya atau belum, datang bagaikan ombak yang terus menghampiri pantai dan menabrak karang. Saat kita punya masalah terkadang kita tak butuh solusi, karena otak kita buntu hati kita berkecamuk, yang kita butuhkan adalah “bangkit” dan bangkit. Tawakal bukan berarti pasrah diam tapi meyakini bahwa Allah akan menjawab segala masalah kita melalui ikhtiar yang kita lakukan. Karena kehendak Allah adalah hasil penjumlahan ikhtiar manusia dengan eveluasi Allah. Jadi bangkitlah, karena semua masalah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, hadapi saja, karena keberanian dan positive feeling kita menghadapi akan mendatangkan pertolongan Allah yang tak masuk logika (tak disangka-sangka). Itu semua adalah buah kesabaran kita, karena sabar itu tak ada batasnya. Jika kita telah membatasi kesabaran kita, sesungguhnya kita sedang tidak sabar dengan apa yang kita hadapi.

Fitrah Manusia


Tetaplah dalam Fitrah
oleh : Rofiq Abidin

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Din Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) Din (agama) yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.  (QS Ar Ruum : 30)

 
 Penciptaan manusia pertama mendapat perhatian khusus dari makhluk Allah sebelumnya, ada yang menyayangkan karena takut berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, yang kemudian memberi penghormatan dan ada yang iri dan sombong karena merasa lebih baik, yang menjadikan ia membangkang kepada Allah. Dua sikap makhluk Allah ini merupakan simbol adanya sifat dan sikap yang baik dan salah, juga menjadi simbol ketaatan dan pembangkangan atas instruksi Allah. Dua sifat dan sikap ini menjadi bumbu-bumbu kehidupan manusia, terkadang manusia menerjang larangan Allah, kadang kala tetap dalam ketaatan kepada-Nya. Bagaimana dengan fitrah manusia? Apakah setiap manusia diciptakan dalam keadaan fitrah? Benar, setiap manusia yang lahir telahpun dalam keadaan fitrah. Sebelum mamahami lebih jauh mari kita pahami terlebih dahulu tentang fitrah. Secara etimologi fitrah adalah perangai, tabi’at, kejadian asli, agama, sehingga bisa kita simpulkan bahwa fitrah manusia  adalah tujuan asal dan sifat azali dari penciptaan manusia yang tidak ada perubahan. Lantas bagaimana korelasinya dengan Q.S Ar Ruum ayat 32 di atas?. Jika kita mau menelaah secara mendalam bahwa setiap manusia tercipta dalam keadaan fitrah, berarti manusia telah mengakui ketauhidan Allah dan kebenaran Islam sebagai din yang lurus. Maka dari itulah Al Qur’an ini merupakan petunjuk bagi manusia, bukan Umat Islam saja, inipun pernah dibuktikan oleh Rasulullah Muhammad SAW saat menerapkan Al Qur’anul Hakim di Yasrib yang kemudian di kenal dengan Madinah, sebuah tempat yang di dalamnya berlaku hukum-hukum Allah, walaupun memiliki ummat yang plural. Mari kita renungi firman Allah yang menerangkan bahwa setiap manusia telah menganggukkan dirinya bahwa Allah adalah Rabb-nya (pengaturnya), berikut ini kesaksian manusia dalam Surat Al A’raf ayat 172 :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (Al A'raaf  172)
Jelas bahwa sebenarnya manusia sejak lahir telah bersaksi atas keesaan Allah dan pengakuan tentang ketuhanan Allah, inilah yang menjadikan manusia dalam posisi fitrah, ia bersih dan suci karena jiwanya telah mengakui keberadaan Allah sebagai Rabbul ‘alamin. Selanjutnya, tergantung manusia bisa tetap menjaga kefitrahannya atau justru jauh dari fitrah Allah. 
Berada dalam Fitrah
Berada dalam kondisi fitrah merupakan kondisi yang sangat bersih dan suci, namun lagi-lagi kefitrahan manusia tidak akan dibiarkan begitu saja oleh musuh bebuyutannya yakni “iblis”, ia tidak akan pernah rela manusia dalam keadaan fitrah. Sehingga manusia selalu saja ada godaan dalam setiap niat dan amal kebajikan, inilah yang mengotori kefitrahan manusia. Adapun  kondisi fitrah yang pernah kita rasakan saat bayi adalah kondisi asli manusia, tulus dalam berbuat. Namun orang tuanyalah yang menjadikan manusia itu tidak fitrah, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi. (HR Bukhori)
Bisa kita simpulkan bahwa kondisi fitrah yang dimaksud Rasulullah adalah kondisi dimana manusia tetap memegang teguh kesaksian keesaan Allah yang pernah dikomitmenkan pada saat sebelum lahir, yakni mengakui Allah sebagai Tuhan dan Islam sebagai Din yang lurus. Berarti bisa kita simpulkan bahwa ada dua kondisi kefitrahan manusia, yakni :
1.      Saat bayi, dimana kita bagaikan kertas putih tanpa dosa satupun
2.      Saat kita berada pada Dinul Hanif (din yang lurus), dimana manusia berada dalam pengakuan keesaan Allah dan mengikuti  rubbubiyah Allah yakni Al Qur’anul Hakim yang telah mengatur kehidupan manusia di bumi, sehingga manusia mendapati tempat yang aman dan sejahtera lahir dan bathin.

Sudah Fitrahkah Kita?
Jika kita telah mengetahui bagaimana kondisi yang fitrah, maka kita perlu bermahasabbah (mengevaluasi diri) apakah kita sudah fitrah?. Ada dua cara untuk mengevaluasi diri apakah kita sudah fitrah atau belum ?. Yang pertama, cobalah rasakan benarkah kita tetap mengesakan Allah dan bersih dari dosa, sehingga ketulusan itu selalu hadir dalam berbuat, selalu menggantungkan urusan kita kepada Allah SWT. Yang kedua, sudahkah kita berada di dinul hanif, dinul Islam, dinul haq yang diridhoi oleh Allah SWT?, berada pada dinul hanif, berarti kita telah lurus dan tulus menjalankan rubbubiyah/aturan/hukum Allah. Mari kita bermahasabbah dengan tulus demi mendapatkan kefitrahan kita kembali.

Menjaga Kefitrahan Manusia
Seburuk apapun nilai kita, tetaplah berdamai dengan hati kita, akui kita sebagai manusia yang tak luput dari dosa, maafkan diri kita, karena dengan berani mengakui sebuah kesalahan kita akan menemukan kesadaran untuk berubah lebih baik. Inilah awal pencarian kesejatian kita untuk menemukan kembali kefitrahan kita sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Ada beberapa hal yang perlu kita ikhtiarkan bersama agar diri kita tetap dalam fitrah Allah :
1.      Menjaga syahadat (kesaksian) akan keesaan Allah SAW, dengan menghindari sikap-sikap sirik baik dalam prinsip maupun dalam teknis. Syirik kepada Allah, merupakan sikap yang tidak yakin atau mengurangi keyakinan tentang keesaan Allah, termasuk juga sikap yang memecah belah ummat sebagaimana dalam surat Ar Rumm ayat 31 dan 32, setelah diterangkan tentang fitrah manusia.
2.      Lurus dengan dengan dinul Islam, yakni tetap teguh menerapkan rubbubiyah Allah secara total dalam kehidupan, baik secara ritual spiritual maupun dalam kehidupan aktual sebagaimana Rasulullah SAW menerapkan dalam kehidupan nyata di Madinah.
3.      Raih “maghfiroh” dari Allah, dengan istighfar kepada Allah secara ikhlas. Tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat dosa, yang ada adalah manusia yang bersih dari dosa karena magfiroh (ampunan) Allah SWT. Dengan selalu beristighfar kepada Allah kita akan dapat menjaga kefitrahan kita, kesucian kita, karena menjaga itu perlu perjuangan lebih keras dari pada meraih. Ada tiga fase yang perlu kita lalui untuk meraih magfiroh Allah :
a.       Evaluasi diri, dengan berani jujur mengevaluasi kita akan mau dan sadar atas kesalahan/dosa kita, sehingga kita ada dorongan untuk berubah dan beristighfar kepada Allah, tanpa ini istighfar kita hanyalah istighfar palsu, cuma di lisan tapi setelah itu kembali berbuat dosa. Mari kita jujur mengevalusi diri kita.
b.      Pengakuan diri, berkomitmen dalam hati maupun lisan untuk memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat.
c.       Tidak mengulangi kesalahan, ini adalah bukti istighfar kita, yakni tidak kembali mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, karena percuma kita beristighfar namun dosa yang sama kita lakukan dan kita ulangi.
Tentunya meraih hidayah Allah menjadi kunci awal sebuah perubahan seorang manusia, namun hidayah tidak datang begitu saja, ada ikhtiar, ada evaluasi Allah kepada hamba-Nya hingga Dia menurunkan hidayah-Nya. Mari kita temukan kembali kefitrahan kita, kemudian kita menjaganya dengan tetap teguh akan keesaan Allah, lurus dengan din yang Allah ridhoi yakni Islam dan selalu sadar saat kita melakukan kesalahan, sehingga kita ringan untuk memohon ampun kepada Allah SWT. Semoga ikhtiar ini menjadi penuntun bagi para pembaca, lebih-lebih bagi penulis agar senantiasa berusaha berbuat lebih baik, lebih bijak dan lebih bermanfaat.

 

We are featured contributor on entrepreneurship for many trusted business sites:

  • Copyright © RAHMATAN LIL ALAMIN 2015
    Distributed By My Blogger Themes | Designed By Templateism