Oleh :
Rofiq Abidin
Setiap kita pasti
pernah “disalahkan”, pun juga barangkali sering “menyalahkan”. Kira-kira lebih
gampang mana?. Saya tidak mengajak anda untuk diam terhadap kemungkaran, namun
juga bukan berarti mendiamkan kesalahan diri sendiri. Semua butuh seimbang,
semua butuh evaluasi dan semua butuh dimengerti. Saat menjadi penonton, kita
sangat sangat gambang meng-goblok-goblokkan pemain, walaupun kita belum tentu
bisa melakukannya. Begitupun saat kita menilai seseorang, kita mudah
menjustifikasi seseorang, tanpa mengerti dan menganalisanya dengan benar.
Memang menyalahkan orang lain tidak ada ruginya, apalagi menggunjing,
sepeserpun kita tidak rugi secara finansial. Padahal jika anda tahu, semakin
kita menjustifikasi orang, tanpa ada action dari kita, rasanya tidak adil pada
diri sendiri. Kita menuntut orang lain berubah, tapi kita sendiri tidak ada
mengubah sikap kita. Biasanya seseorang itu gak mau disalahkan, walaupun memang
salah, faktornya bernama gengsi dan egois, maka musuh kita ini hanya bisa
ditakhukkan dengan “ikhlash”, karena dengan sikap ikhlash pasti kita akan
berani mengevaluasi dan evaluasi diri inilah yang menjadi poros perubahan diri.
Namun untuk menyalahkan orang, itu seakan lepas tanpa beban, padahal dengan
menyalahkan orang lain ini, niat kita untuk meluruskan menjadi muspro, karena
terbakar oleh “kepuasan menyalahkan”. Mari kita hayati peringatan Allah berikut
ini :
Dan apabila mereka mendengar
perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka
berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan
atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." (QS. 28. Al Qashash 55).
Ayat di atas adalah
merupakan cara mengelola hati dan sikap kita saat mendengar “ghibah” yang
biasanya condong kepada “suudzon” (prasangka negatif). Begitu hebatnya Al
Qur’an sampai-sampai menjelaskan perihal sekecil ini. Jadi jika ada orang yang suka
ghibah, maka berpalinglah dengan cara yang bijak. Jika kita ingin memiliki niat
baik, maka ingatkanlah dengan cara yang baik, karena itu bagian dari kegiatan
dakwah. Dengan konsep dakwah yang baik dan benar, maka niat kita akan lurus
“yakni mengingatkan orang yang sedang dalam kesalahan”, bukan terus menerus
menjustifikasi kesalahan tanpa ada action untuk diri kita, baik perubahan diri
maupun menasehati/mengingatkan. Alangkah baiknya jika kita mau menilai orang
lain maka evaluasilah diri kita sebelumnya, sehingga niat kita lurus. Begitupun
jika kita disalahkan orang lain, segeralah evaluasi diri dengan ikhlash, jika
memang salah maka segera mengubah dan jika benar maka tetaplah bersabar. Semoga
hati dan lidah kita terjaga oleh iman kita, pun juga langkah kita dibimbing
oleh Allah. Sehingga niat lurus dan baik kita menjadi poros perubahan lebih
baik untuk diri kita.
0 komentar:
Posting Komentar