Ad (728x90)

Minggu, 07 Oktober 2012

Mudahnya Menyalahkan, Sulitnya Mengakui Kesalahan



Oleh : Rofiq Abidin
Setiap kita pasti pernah “disalahkan”, pun juga barangkali sering “menyalahkan”. Kira-kira lebih gampang mana?. Saya tidak mengajak anda untuk diam terhadap kemungkaran, namun juga bukan berarti mendiamkan kesalahan diri sendiri. Semua butuh seimbang, semua butuh evaluasi dan semua butuh dimengerti. Saat menjadi penonton, kita sangat sangat gambang meng-goblok-goblokkan pemain, walaupun kita belum tentu bisa melakukannya. Begitupun saat kita menilai seseorang, kita mudah menjustifikasi seseorang, tanpa mengerti dan menganalisanya dengan benar. Memang menyalahkan orang lain tidak ada ruginya, apalagi menggunjing, sepeserpun kita tidak rugi secara finansial. Padahal jika anda tahu, semakin kita menjustifikasi orang, tanpa ada action dari kita, rasanya tidak adil pada diri sendiri. Kita menuntut orang lain berubah, tapi kita sendiri tidak ada mengubah sikap kita. Biasanya seseorang itu gak mau disalahkan, walaupun memang salah, faktornya bernama gengsi dan egois, maka musuh kita ini hanya bisa ditakhukkan dengan “ikhlash”, karena dengan sikap ikhlash pasti kita akan berani mengevaluasi dan evaluasi diri inilah yang menjadi poros perubahan diri. Namun untuk menyalahkan orang, itu seakan lepas tanpa beban, padahal dengan menyalahkan orang lain ini, niat kita untuk meluruskan menjadi muspro, karena terbakar oleh “kepuasan menyalahkan”. Mari kita hayati peringatan Allah berikut ini :

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." (QS. 28. Al Qashash 55).
Ayat di atas adalah merupakan cara mengelola hati dan sikap kita saat mendengar “ghibah” yang biasanya condong kepada “suudzon” (prasangka negatif). Begitu hebatnya Al Qur’an sampai-sampai menjelaskan perihal sekecil ini. Jadi jika ada orang yang suka ghibah, maka berpalinglah dengan cara yang bijak. Jika kita ingin memiliki niat baik, maka ingatkanlah dengan cara yang baik, karena itu bagian dari kegiatan dakwah. Dengan konsep dakwah yang baik dan benar, maka niat kita akan lurus “yakni mengingatkan orang yang sedang dalam kesalahan”, bukan terus menerus menjustifikasi kesalahan tanpa ada action untuk diri kita, baik perubahan diri maupun menasehati/mengingatkan. Alangkah baiknya jika kita mau menilai orang lain maka evaluasilah diri kita sebelumnya, sehingga niat kita lurus. Begitupun jika kita disalahkan orang lain, segeralah evaluasi diri dengan ikhlash, jika memang salah maka segera mengubah dan jika benar maka tetaplah bersabar. Semoga hati dan lidah kita terjaga oleh iman kita, pun juga langkah kita dibimbing oleh Allah. Sehingga niat lurus dan baik kita menjadi poros perubahan lebih baik untuk diri kita.







Ide Segar

Mudahnya Menyalahkan, Sulitnya Mengakui Kesalahan



Oleh : Rofiq Abidin
Setiap kita pasti pernah “disalahkan”, pun juga barangkali sering “menyalahkan”. Kira-kira lebih gampang mana?. Saya tidak mengajak anda untuk diam terhadap kemungkaran, namun juga bukan berarti mendiamkan kesalahan diri sendiri. Semua butuh seimbang, semua butuh evaluasi dan semua butuh dimengerti. Saat menjadi penonton, kita sangat sangat gambang meng-goblok-goblokkan pemain, walaupun kita belum tentu bisa melakukannya. Begitupun saat kita menilai seseorang, kita mudah menjustifikasi seseorang, tanpa mengerti dan menganalisanya dengan benar. Memang menyalahkan orang lain tidak ada ruginya, apalagi menggunjing, sepeserpun kita tidak rugi secara finansial. Padahal jika anda tahu, semakin kita menjustifikasi orang, tanpa ada action dari kita, rasanya tidak adil pada diri sendiri. Kita menuntut orang lain berubah, tapi kita sendiri tidak ada mengubah sikap kita. Biasanya seseorang itu gak mau disalahkan, walaupun memang salah, faktornya bernama gengsi dan egois, maka musuh kita ini hanya bisa ditakhukkan dengan “ikhlash”, karena dengan sikap ikhlash pasti kita akan berani mengevaluasi dan evaluasi diri inilah yang menjadi poros perubahan diri. Namun untuk menyalahkan orang, itu seakan lepas tanpa beban, padahal dengan menyalahkan orang lain ini, niat kita untuk meluruskan menjadi muspro, karena terbakar oleh “kepuasan menyalahkan”. Mari kita hayati peringatan Allah berikut ini :

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." (QS. 28. Al Qashash 55).
Ayat di atas adalah merupakan cara mengelola hati dan sikap kita saat mendengar “ghibah” yang biasanya condong kepada “suudzon” (prasangka negatif). Begitu hebatnya Al Qur’an sampai-sampai menjelaskan perihal sekecil ini. Jadi jika ada orang yang suka ghibah, maka berpalinglah dengan cara yang bijak. Jika kita ingin memiliki niat baik, maka ingatkanlah dengan cara yang baik, karena itu bagian dari kegiatan dakwah. Dengan konsep dakwah yang baik dan benar, maka niat kita akan lurus “yakni mengingatkan orang yang sedang dalam kesalahan”, bukan terus menerus menjustifikasi kesalahan tanpa ada action untuk diri kita, baik perubahan diri maupun menasehati/mengingatkan. Alangkah baiknya jika kita mau menilai orang lain maka evaluasilah diri kita sebelumnya, sehingga niat kita lurus. Begitupun jika kita disalahkan orang lain, segeralah evaluasi diri dengan ikhlash, jika memang salah maka segera mengubah dan jika benar maka tetaplah bersabar. Semoga hati dan lidah kita terjaga oleh iman kita, pun juga langkah kita dibimbing oleh Allah. Sehingga niat lurus dan baik kita menjadi poros perubahan lebih baik untuk diri kita.







KEIKHLASAN MENJAMIN KEBAHAGIAAN

Oleh : Rofiq Abidin

Kebahagiaan menjadi titik tuju setiap langkah manusia dalam mengarungi kehidupannya, yang dalam perjalanan tawakalnya tak lepas dari goresan – goresan fakta yang menguji keikhlasannya. Rasa ikhlas dan rasa bahagia sama – sama terletak di dasar hati yang dalam kolerasinya setiap keikhlasan senantiasa membiaskan cahaya kebahagiaan. Manifestasi keikhlasan ialah memurnikan dorongan niat/kehendak untuk mewujudkan suatu tujuan yang akan dicapai, selanjutnya berwujud menjadi nur Ilahiyah yang dapat menscreening jiwa dalam setiap langkah kerja sehingga dapat menjaga kebahagiaan dalam segala suasana bathin.

Banyak yang menilai bahwa sebuah kesuksesan seseorang diukur dari materi/kekayaan yang ia punyai ataupun ketenaran yang diperoleh atau bahkan keturunan. Namun setiap materi, ketenaran dan keturunan terkadang tak selamanya menjamin kebahagiaan, karena letak kebahagiaan sesungguhnya ada di dasar hati yang terekspresi dengan beragam refleksitas bahasa tubuh yang bermacam – macam. Untuk senantiasa menjaga dan mengabadikan kebahagiaan adalah dengan rasa ikhlas menerima keadaan apapun yang terjadi pada diri kita, bukan dalam makna pasrah tanpa langkah atau diam berputus asa, namun ikhlas itu tidak ada resistant (penghambat) dalam hati baik dalam yang berwujud tafkir ataupun sikap, bersih hati benar – benar akan menjamin kebahagiaan karena yang ikhlas tak akan ada godaan – godaan iblis yang telah berkomitmen dengan lantang kepada Allah bahwa seluruh manusia akan digoda, namun satu yang tak akan pernah digoda oleh iblis ialah “orang – orang yang ikhlas” sebagaimana dalam QS Al Hijr ayat 39-40 :

Iblis berkata : “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) dimuka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan semuanya (39), kecuali hamba – hamba Engkau yang muklis diantara mereka(40)

Keikhlasan yang berwujud dalam rasa syukur, berarti seseorang telah menikmati perasaan ikhlasnya dengan menerima secara lapang dada anugerah yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, tidak ada protes kepada Allah tapi terus mensyukuri dan mensyukuri nikmatnya. Keikhlasan dalam menerima ujian, berarti seseorang telah rela apapun yang telah diputuskan Rabb kepadanya, namun senantiasa berdzikir mengefaluasi diri untuk menuju perubahan.
Oleh karena itu sucikanlah jiwa kita selapang – lapangnya dalam keadaan apapun atau dalam ujian apapun maka akan merasakan kebahagiaan dan pasti setiap keikhlasan akan membiaskan cahaya inovasi – inovasi dan kreatifitas – kretifitas brilian yang dapat mengakselerasi tawakal dalam mencari solusi hidup dan kehidupan, sehingga tetap istiqomah dengan prinsip – prinsip hidup Ilahiah yang telah disyahadatkan dan diamalkan.

PEMIMPIN YANG MEMBANGUN PERADABAN


Akal yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia akan senantiasa mengantarkan kebebasannya dalam berfikir menyelesaikan beragam masalah yang terjadi dalam hidupnya baik secara pribadi ataupun kolektif, serta menerima pengaruh – pengaruh diluar dirinya guna mengambil sikap bijak dalam penyelesaian masalahnya tersebut. Untuk mengendalikan kebebasan pola fakir dan perbuatannya manusia membutuhkan perangkat diluar dirinya yakni sebuah peraturan sebagai control dalam setiap kebebasannya karena setiap manusia memiliki naluri kebaikan dan kejahatan. Pelakasanaan aturan itu sendiri juga membutuhkan pengawasan guna merapiakan pelaksanaan supremasinya. Dalam hal ini pengawas dalam menerapkan aturan – itu adalah pemerintah, sejauh mana pemerintah mendisiplinkan aturan – aturan untuk meraih keberhasilan yang dicita – citakan bersama adalah tergantung dari kepiawaian dan kebijakan – kebijakan yang diambil. Pimpinan yang diidealkan oleh masing – masing kelompok atau individu – individu umat sudah semestinya memiliki kualifikasi dan kredibilitas yang terbaik sehingga mampu menjalankan roda pemerintahan dengan penuh kenyamanan, kedamaian dan kesejahteraan.
Seorang sahabat Rosulullah SAW yang sangat tidak diragukan lagi loyalitasnya dan kepercayaannya kepada Rosulullah yakni Abu Bakar yang kemudian diberi gelar oleh Rosulullah sebaga As Sidiq memeberikan pelajaran berharga bagi para penerus generasi islam. Ketika beliau dilantik menjadi kholifah selepas wafatnya Rosulullah SAW beliau berkomitmen “taatlah kepadaku selagi aku taat kepada Allah, sekiranya aku menyeleweng atau melanggar perintah Allah maka janganlah taat kepadaku, tentanglah aku sehingga aku kembali kepada hukum Allah”. Demikianlah ekspresi seorang pemimpin yang memiliki kecintaan yang dalam terhadap umat dan amanahnya, beliau benar – benar tidak main – main menjaga amanah Allah dan penerapan hukum Allah, karena mendapat kepercayaan untuk memimpin berarti di dalmnya ada sebuah harapan besar terhadap perubahan – perubahan yang konkrit dan signifikan. Dalam sejarah islam Abu Bakar As Sidiq termasuk Khulafa’ur Rosidin satu – satunya yang dalam masa usianya tidak menjadi korban pembunuhan, ini menandakan betapa besar kepercayaan umat kepadanya. Bagaimanakah gambaran seorang pemimpin yang dikehendaki oleh Allah, Mari kita perhatikan pesan Allah kepada para pemimpin :
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah” (QS. Al Anbiya’ : 73)
Ayat di atas memberi gamabaran konkrit, bahwa pemimpin yang dikehendaki Allah adalah pemimpin yang mempunyai kualifikasi terbaik yang berkarakter membangun peradaban maju diantaranya :
1. Memberikan petunjuk (solusi) dengan berdasarkan wahyu/hukum Allah
Ajaran Ilahi adalah merupakan why of life, berfungsi sebagai pedoman – pedoman dan tatanan hidup dan kehidupan mulai dari pribadi, keluarga dan sampai dalam urusan bernegara. Berbagai bukti telahpun ditorehkan oleh para pelaku – pelaku qur’ani, mulai dari para nabi dan rosul dan diteruskan oleh sahabat – sahabatnya.
2. Mempunyai karya nyata
Sebuah contoh konkrit bahwa para nabi dan rosul telah membangun peradaban pada masanya, adalah nabi Ibrahim yang telah nyata membangun ka’bah yang sampai hari ini menjadi kiblat umat islam dalam sholat. Nabi muhammadpun membangun sebuah peradaban yang dimulai dari madinah munawaroh sebuah negri yang menerapkan hukum Allah dan hasilnya banyak sekali peruubahan – perubahan yang dikaryakan. bukan hanya mencontohkan dalam hal spiritual dan akhlak namun membuat subuah karya nyata sebagai pembuktian tanggung jawabnya.
3. Mentegakkan sholat secara ritual dan aktualisasinya dalam kehidupan
Penyembahan kepada yang maha pencipta sudah semestinya menjadi ritme kehidupan seorang pemimpin. Selanjutnya mampu mentuangkan makna sholat dalam aktualisasi kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara.
4. Sanggup membersihkan dan mensucikan hartanya (mendermakan hartanya untuk kepentingan jalan Allah dan kepentingan Negara )
Ajaran Ilahi memiliki managemen ekonomi yang sangat bisa mensejahterakan umat, zakat adalah salah satu solusi yang dapat praktekkan untuk mengurangi masalah – masalah sosial kemasyarakatan, tidak hanya itu masalah – masalah negara yang belum teratasi akan memungkinkan dapat menjadi solusi konkrit jika kita bisa menanganinya. Dalam hal ini telahpun contohkan oleh Abu Bakar As Shidiq yang sangat serius menangani persoalan zakat dan infaq.
5. Memiliki keimanan yang tinggi kepada Allah dan tawakal kepadanya
Keimanan merupakan keyakinan mendalam terhadap sang khalik yakni Allah SWT sehingga muncul rasa ta’dzim (hormat), Rughbah (takut) kepada sang Pencipta Allah SWT sehingga tidak terbesit bibit musrik walaupun seorang pemimpin itu mencapai klimaks keberhasilannya.
Perihal di atas adalah merupakan kriteria pemimpin yang berkarakter sholeh, yang sanggup bekerja keras untuk membawa perubahan, membangun peradaban maju dan terus menggulirkan salju kemajuan. Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin benar – benar memiliki komitmen yang kuat terhadap bangsanya dan mempunyai karya nyata bukan hanya pandai berbicara. Sehingga mampu membawa Indonesia kepada perubahan – perubahan secara sustainable dan membawa umatnya (rakyat) menuju Negara yang dicita – citakan yakni “baldatun toyibatun wa Rabbun gofur” . Entah dari mana dasarnya bangsa Indonesia sering menggembor – gemborkan slogan itu atau barangkali bercita – cita menjadikan Negara Indonesia sebagaimana Negara madinah yang dibangun Rosulullah empat belas abad yang silam.
Pemimpin Yang Menepati Janji
Baik buruknya seorang pemimpin menurut pandangan masyarakat adalah dinilai dari nyata tidaknya janji – janji yang disamapaikan pada saat kampanye. Tidak bisa dihindari jikalau seorang pemimpin yang ingkar janji maka secara drastis kredibilitas pribadi dan kepemimpinannya akan merosot dan mengahapus semua kebaikan dan jasanya kepada Negara. Oleh karena itu seorang pemimpin harus berusaha menjaga janjinya dengan sebaik baiknya, karena pembuktian kemampuan seorang pemimpin adalah merealisasikan janji – janjinya. Sikap memenuhi janji akan bisa terwujud jika seorang memiliki jiwa tanggung jawab tinggi terhadap apapu ucapan yang diikrarkan. mari kita renungkan firman Allah dalam surat Maryam ayat 54 yang menjadika Nabi Ismail sebagai seorang pemimpin yang memegang janjinya, demikianlah pernyataan Allah sebagai berikut :
Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya. Dan dia adalah seorang rosul dan seorang nabi. (QS. Maryam : 54)
Seorang nabi yang benar – benar bisa memegang janjinya adalah nabi Ismail, terbukti ketika Ibrahim mendiskusikan tentang perihal perintah Allah untuk menyembelih dirinya (Ismail), dengan sabar beliau menjawab “hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu ; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang – orang yang sabar” (QS. Ash Saffat : 102). Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa mereka telah menerapkan sikap demokrasi dalam mencari solusi terbaik, nabi Ibrahim tidak serta merta melaksanakan perintah walaupun itu perintah Rabbnya Allah SWT, tapi justru beliau mengajarkan tentang sikap toleransi kepaada anak dan umat islam selanjutnya. Dalam hal ini yang tak kalah pentingnya adalah bahwa beliau – beliau telah menepati janjinya dengan Rabbnya.
Setiap kita berbuat pasti ada akibat balasannya, berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula berbuat jahat akan dibalas pula dengan keburukan. Jika seseorang yang telah berjanji namun merusak janjinya atau tidak menepatinya, maka akan berdampak buruk juga bagi dirinya disamping kepercayaan umat yang menurun juga ada balasan setimpal dari Allah. Mari kita renungkan peringatan Allah kepada orang – orang yang merusak janjinya :
Orang – orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa – apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang – orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk.( QS. Ar Ra’du : 25 )
Dengan demikian jika kita menjadi seorang pemimpin, baik dalam skala kecil keluarga ataupun sampai pemimpin Negara kita mesti memegang teguh dan merealisasikan apa – apa kebijakan yang kita ikrarkan. Selanjutnya mendasarkan segala persoalan hidup kita baik prifacy maupun kolektif kepada Ajaran Ilahi yang telah secara lengkap menjawab berbagai masalah hidup kita baik kini dan mendatang,

WAKTU

MENSYUKURI WAKTU
Oleh : Rofiq Abidin
“Demi masa.(1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,(2)
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran(3)”

Pada pergiliran siang dan malam terdapat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah. Detik demi detik waktu yang kian terus melaju seolah mengejar kita untuk segera melangkah menggapai impian. Mengingat apa yang telah kita lakukan tak mungkin kembali diputar ulang untuk kemudian diubah, yang bisa kita lakukan adalah mengevaluasi diri terhadap masa sebelumnya (lampau) kemudian mengambil pelajaran dan hikmah dari kejadian, peristiwa dan sikap kita. Selanjutnya masa kini kita isi dengan langkah dan amal nyata penuh kerja keras sehingga masa depan akan menuai hasil realistis sesuai dengan amaliah kita. Dalam Al Qur’an Surat Al Ashr : 1-3, Allah bersumpah demi masa, adalah menunjukkan bahwa kita harus menghargai waktu yang dianugerahkan kepada kita karena waktu merupakan kesempatan emas untuk menggapai apapun yang kita kehendaki. Hanya manusia yang menghargai waktu yang tidak akan merugi. Berikut ini adalah konsep dari Allah Swt untuk meraih keberuntungan/ kesuksesan :

 Optimis
Memiliki keyakinan yang kuat terhadap diri sendiri dan cita-cita yang hendak dicapai, tak ada keraguan, kebimbangan dan kegamangan tentang harapan karena telah mengukurnya sesuai dengan segala kemampuan dan kesempatan yang dimiliki.
 Kerja Keras
Mempunyai etos kerja yang tinggi dan selalu menghargai waktu yang diberikan oleh Allah Swt, mengutamakan produktifitas kerja dan efisiensi waktu yang ada.
 Disiplin terhadap Kebenaran
Memegang teguh prinsip kebenaran dan menegakkan nilai-nilainya dalam aktivitas pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat secara disiplin.
 Sabar
Kegigihan, keuletan dan pantang menyerah terhadap pekerjaan dan tugas yang diemban, tidak bersifat pasif tapi aktif, kreatif dan inovatif mengatasi berbagai masalah dan ujian yang dihadapi.

Jika keempat sikap dan perilaku yang dianjurkan Allah tersebut dapat diamalkan secara berkesinambungan niscaya manusia tidak akan mengalami kerugian, tapi justru memperoleh kesuksesan secara duniawi maupun ukhrowi.

Waktu dan Tujuan Hidup
Sebagai ciptaan Allah, kita tidak pernah meminta hidup dan dihidupkan, namun hidup merupakan pemberian, anugerah Allah sebagai Al Khaliq (Maha Pencipta) yang menghendaki kita hidup. Untuk itu kita mesti sadar sesadar- sadarnya bahwa kita hidup memiliki tujuan yang haq dan masa yang telah ditentukan. Makhluk Allah dijamin tak ada yang abadi, namun pasti akan menemukan masa (kesempatan hidup). Dan lebih cerdasnya jika kita hidup ini adalah untuk menggapai tujuan hidup yang haq sehingga akan senantiasa menjalani waktu sesuai dengan tujuan hidup yang dikehendaki-Nya. Coba kita cermati firman Allah sebagai berikut :

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar Ruum:8)

Cita-cita hidup manusia boleh saja berbeda-beda sebagaimana mimpi yang telah tertanam dalam benak masing-masing, namun hendaknya cita-cita itu tidak keluar dari tujuan hidup sebagai manusia menurut kehendak-Nya sehingga tidak sia-sia apa saja yang hendak dan yang akan dicapainya. Lantas apa sebenarnya tujuan hidup menurut kehendak Allah Swt? Tujuan hidup menurut Allah dapat kita pelajari dalam QS. Al Baqoroh : 207, yakni mencari ridho Allah. Ya itulah kehendak Allah, kita dihadirkan di muka bumi ini adalah untuk menggapai ridho-Nya. Setiap waktu kita harus selalu berada dalam frame ridho Allah dan menjunjung tinggi nilai-nilai keridhoan-Nya serta sebaliknya menolak apa saja yang keluar dari garis mardhotillah. Hidup kita pasti akan menemui kenyamanan, kedamaian dan ketenangan jika kita tetap berada dalam jalur kehendak-Nya. Maka gunakanlah anugerah waktu dengan senantiasa berbuat dan beramal sesuai tujuan hidup kita semestinya, mencari ridho Allah, sehingga kelak kita akan menghadap-Nya sebagaimana yang Allah kehendaki.

Manajemen Waktu sebagai Bentuk Syukur
Sebelum kita membahas manajemen waktu, mari kita pahami tabiat waktu agar kita dapat benar-benar memahami esensi waktu tersebut, yakni : tidak mungkin berputar kembali, harta termahal, dan menjadi modal unik yang tidak dapat disimpan tanpa digunakan, karena waktu terus bergulir. Manajemen waktu berarti menata diri untuk senantiasa hidup dengan efisiensi waktu, disiplin dan produktif, sehingga bisa mendapatkan hari esok yang lebih baik. Allah pun telah mengingatkan kita untuk memperhatikan hari esok sebagaimana dalam firman Allah Surat Al Hasyr : 18 sebagai berikut :

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa-apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Begitu lugas Allah mengajari hamba-Nya untuk menghargai waktu. Seorang mukmin harus memiliki ketaqwaan terhadap Allah sehingga selalu disiplin terhadap aturan-aturan dan regulasi yang ditetapkan oleh Allah SWT. Mukmin yang bertaqwa juga mesti memiliki visi jauh ke depan dan selalu memperhatikan pekerjaannya, apakah telah sesuai dengan visi hidupnya serta kehendak Allah ataukah tidak. Sebab jika melenceng, kita hanya akan menemui mimpi semu yang semakin pudar. Itulah pentingnya pesan Ilahi terhadap kita tentang pentingnya memperhatikan apa yang telah kita kerjakan untuk hari esok dan visi hidup yang telah kita tetapkan. Sebagaimana tabiat waktu yang tidak bisa berputar kembali, tak mungkin dapat merubah masa lampau, tapi bisa menyiapkan hari esok dengan mempersiapkan, men-setting dan action pada masa kini yang sedang dijalani. Dalam Ajaran Islam telah diberikan sebuah pelajaran berharga untuk menghargai waktu, maka pribadi muslim hendaknya bisa memenej waktu sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah yang masih memberikan kesempatan untuk hidup dan menikmati kehidupan serta segala nikmat yang ada, sebagaimana tersirat dalam surat Al Furqon : 62,
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.”
Syiar Islam menempatkan ibadah ritual pada bagian-bagian waktu dalam sehari dari pagi hingga malam dan pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Sholat lima waktu diwajibkan dari saat memulai hingga mengakhiri aktivitas dalam sehari, dan waktu-waktunya selaras dengan perjalanan hari. Dalam Syariat Islam dinyatakan bahwa Malaikat Jibril diutus oleh Allah untuk menetapkan waktu-waktu awal dan akhir pelaksanaan sholat lima waktu agar menjadi panduan dan sistem yang baku dan cermat dalam menata kehidupan islami. Di samping itu, juga berfungsi untuk mengukur detik-detik sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Coba kita cermati, mulai dari bangun tidur dianjurkan bangun pagi untuk sholat subuh, memulai semua dengan menyebut nama Allah, selanjutnya kita bekerja keras dan tengah hari (siang) sejenak otak dan jiwa kita dikehendaki untuk istirahat dengan membasuh muka kita selanjutnya kita sholat dhuhur, kemudian sore menjelang matahari terbenam kita sholat ashar, bermakna mengevaluasi apakah seharian kita telah produktif, telah rampungkah pekerjaan kita, kemudian ketika matahari terbenam kitapun membasuh muka dan dahi kita untuk berwudhu menjernihkan fikiran dan selanjutnya melaksanakan sholat magrib, mensyukuri apa-apa yang telah kita kerjakan dan yang telah kita dapatkan, dan menjelang tidurpun kita mengingat Allah, sholat isya’, kita pasrahkan diri dan hasil ikhtiar kita sehari penuh kepada Allah. Begitulah kiranya penulis mencoba memaknai waktu sholat yang selaras dengan perjalanan hari. Dengan sholat kita akan menemukan banyak makna untuk bisa menghargai waktu sehingga kita dapat mengaturnya secara efektif dan efisien yang pada akhirnya kita akan mendapatkan hari esok yang lebih baik, lebih bahagia dan lebih barokah sebagaimana yang kita inginkan.

KEPEMIMPINAN

SETIAP DIRI ADALAH PEMIMPIN
oleh : Rofiq Abidin
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah : 30)

Setiap kita pasti pernah dan akan menjadi pemimpin dalam kelangsungan kehidupan kita, baik sengaja maupun tidak kita sadari. Dalam pekerjaan, sekolah, masyarakat dan keluarga serta negara membutuhkan kepemimpinan untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Manusia telahpun ditunjuk oleh Allah sebagai seorang "khalifah” yang secara eksplisit disebutkan dalam firman-Nya Q.S. Al Baqarah ayat 30 tersebut. Kepercayaan Allah kepada manusia untuk menjadi khalifah bukan tanda dasar, walaupun para malaikat meragukan kemampuan manusia karena dinilai akan “menumpahkan darah dan berbuat kerusakan”. Khalifah adalah pengemban amanah Allah, seorang yang memiliki komitmen teguh dan konsisten terhadap amanah Allah yang diembankan kepadanya. Jadi seorang mukmin yang memiliki jiwa kepemimpinanlah yang akan dapat menjaga dan memperjuangkan amanah Allah. Maka untuk dapat memimpin orang lain mestilah bisa memimpin dirinya sendiri. Mari kita renungi Sabda Rosulullah SAW :

Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di rumah dan bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harta tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. ( Dari Abdullah bin Umar Rasulullah Saw.)

Memimpin Diri Sendiri
Menurut Dr. Muhammad Syafii Antonio dalam bukunya yang berjudul “Muhammad SAW The Super Leader Super Manager”, self leadership (kemampuan memimpin diri sendiri) merupakan dasar dari segala kepemimpinan. Jadi jelas untuk dapat memimpin suatu kaum/umat mestilah mampu memimpin dirinya sendiri. Ada tiga hal yang harus diraih untuk mewujudkan self leadership (kemampuan memimpin diri sendiri), antara lain :
1. Self discipline (menegakkan disiplin atas diri pribadi) merupakan aktivitas yang lumayan berat karena berkaitan dengan diri sendiri dan tidak melibatkan orang lain. Maksudnya adalah kadang kita lebih mudah memimpin suatu lembaga atau sebuah organisasi daripada memimpin diri kita sendiri, hal itu dikarenakan jika kita melakukan kesalahan dalam memimpin sebuah organisasi atau lembaga, ada orang lain ataupun anggota organisasi yang akan selalu mengingatkan (mengoreksi) kita, bahkan tidak jarang memberikan sanksi terhadap kesalahan yang kita lakukan, sehingga kita menjadi sadar dan bisa belajar dari kesalahan tersebut.
2. Self excuse (memaafkan diri sendiri). Kita semua pasti pernah khilaf atau mungkin lalai/lupa yang terkadang tidak kita sengaja, jadi kita mesti memafkan diri sendiri dengan terus melakukan evaluasi dan pembenahan-pembenahan.
3. Self punishment (menghukum diri sendiri) secara benar dan proporsional atas kesalahan yang kita perbuat namun bersifat edukatif adalah merupakan sarana pengingat yang efektif bagi kita untuk terus dapat menguasai diri dan berbenah. Hal ini juga untuk membentuk jiwa tanggung jawab terhadap amanah kita.

Peranan Pemimpin dalam Islam
Dalam Perspektif Islam, seorang pemimpin mempunyai pengaruh sangatbesar bagi kelangsungan apa dan siapa yang dipimpinnya sehingga terus meraih tujuan yang diharapkan bersama. Ada dua peran seorang pemimpin yang harus terus dibangun :
1. Sebagai khadim (pelayan)
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa bersahaja dan menjadi pelayan bagi kaum yang dipimpinnya. Seorang pemimpin sejati mampu mengoksplorasi kemampuan/potensi dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras, dia berfikir lebih kuat, lebih mendalam dari pada orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Rosulullah SAW, bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang yang dipimpinnya.
2. Sebagai Muwajjih (pemandu)
Pemimpin adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya untuk menunjukkan jalan yang terbaik agar selamat sampai tujuan, senantiasa mengerti dan empati kepada kaumnya sehingga mampu memberikan pandangan rasional dan mudah dimengerti. Bukan sebaliknya, cuek dan kurang empati terhadap kaumnya sehingga mereka dibuat bingung mengejawentahkan kebijakannya. Allah berpesan kepada para pemimpin dalam firman-Nya sebagai berikut :

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah : 24)

Rahasia Kekuatan Pemimpin
Kepemimpinan yang sukses telahpun dicontohkan oleh para nabi dan para rasul, mereka senantiasa menjadi insan-insan terbaik di antara kaumnya, memiliki khazanah ilmu dan wawasan yang luas, serta skill yang mumpuni disamping spiritualnya yang kuat. Beliau selalu menjadi contoh dan teladan bagi kaumnya, baik komitmennya, cara berpikir, maupun amal ibadahnya. Berikut ini adalah rahasia kepemimpinan dalam Islam :
1. Kekuatan iman, ilmu dan wawasan yang luas
Keteguhan iman seseorang akan mempengaruhi optimismenya mencapai tujuan organisasi/institusi, sehingga tetap tegar dalam ujian, tidak tampak “under pressure” di depan kaumnya. Ia lebih tampak percaya diri. Dukungan ilmu dan wawasan yang luas akan menjadikan dirinya penuh strategi dan ulet dalam menyelesaikan tantangan yang dihadapinya.
2. Amal dan kerja keras
Seorang pemimpin tidak hanya menyuruh kaumnya bekerja, berbuat dan beribadah, namun justru ia menjadi seorang yang penuh kerja keras, berpikir lebih kuat dan beramal ibadah lebih rajin daripada kaumnya sehingga kewibawaannya akan muncul dengan sendirinya. Tanpa bersuara lantang pun para pengikut akan sadar tanggung jawabnya. Itu karena amalan dan kerja kerasnya telah menjadi kekuatan dahsyat yang mendorong kaumnya untuk bekerja lebih keras sesuai dengan amanahnya.
3. Keteladanan
Pemikiran dan langkah lebih maju adalah penampilan sebenarnya, bukan hanya ungkapan verbal tapi mampu membuktikan dan mempertanggungjawabkan pernyataannya. Hal ini akan menjadi teladan yang mampu menginspirasi, menyejukkan jiwa dan mengobarkan semangat para pengikutnya.

Seorang pemimpin sejati terus berpikir, bertindak dan mengembangkan pribadinya untuk bisa memimpin dirinya dan mengendalikan serta memberdayakan kaum/ pengikutnya mencapai visi dan misinya, bersikap teguh dan disiplin dengan perencanaannya sehingga melahirkan generasi-generasi yang kokoh, penuhkomitmen, memiliki skill dan spiritual yang mumpuni dan penuh tanggung jawab terhadap amanahnya.
Tazkiyah

Selasa, 02 Oktober 2012

SEJUKNYA IKHLAS
Oleh : Rofiq Abidin
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (QS. An Nisa’ :146)

Kita tentu paham bagaimana sosok Raulullah SAW yang begitu lembut dan pemaaf, walau tiap hari mendapatkan ejekan, hinaan, makian bahkan intimidasi, sampai-sampai tiap hari harus mendapatkan air ludah dan kotoran unta saat keluar rumah menuju ka’bah. Justru saat ada yang absent tidak mengejek dan tidak melempari batu, beliau malah datang menjenguknya, yang ternyata ia sakit, subhanallah, beliau begitu pema’af dan memiliki keikhlasan yang luar biasa. Rasa ikhlas begitu menyejukkan hati dan mencairkan suasana. Ketulusan hati bagai embun yang membasahi dedaunan, bagai pagi yang datang menyambut alam dan bagai angin sepoi-sepoi yang menambah kesejukan. Ikhlas yang teraksentuasi dalam permaafan mendinginkan marah dan menyatukan perbedaan. Ikhlas yang teraksentuasi dalam pengamalan menyiratkan kesejatian sikap dan kemurnian hati. Banyak tauladan para mukhlisin yang ada sekitar kita untuk mengingatkan langkah kita dan memberi kesejukan serta penerangan untuk kehidupan ini. Mungkin saja, sosok mukhlisin (orang yang ikhlas) itu muncul pada orang yang barangkali kita anggap remeh, namun terkadang ia hadir dihadapan kita untuk mengajarkan kita untuk ikhlas, ia tampak begitu tenang saat mendapati kesulitan hidup, ia tetap berusaha dengan sekuat tenaganya untuk menafkahi keluarganya dengan cara yang benar-benar halal. Terkadang Allah membimbing kita dengan mensengaja mendatangkan contoh sosok yang ikhlas agar kita ngeh (mengerti) bahwa hidup ini perlu kita jalani dengan ikhlas. Sehingga kita sadar dan bertaubat dengan kesalahan sikap kita, selanjutnya mengadakan perbaikan-perbaikan secara nyata. Mari kita memulai dari “ikhlas” mengevaluasi diri agar dapat memunculkan kesadaran diri dan berpegang teguh pada ajaran Allah. Sebagaimana pesan Ilahi yang disebutkan di atas. Hakekat Ikhlas Ikhlas berasal dari kata kholish yang secara bahasa artinya murni atau suci dari sesuatu yang sebelumnya bercampur. Menurut Prof. Quraish Shihab iklhas adalah menyingkirkan segala sesuatu yang sebelumnya telah tercampur. Sehingga surat Al Ikhlash, berari memurnikan keesaan Allah dari pemahaman manusia yang telah tercampur, seperti menganggap Allah itu banyak, beranak, dsb. Iklhash berarti mengerjakan segala susuatu dengan mengkaitkan Allah/ridha Allah, sehingga hanya seruan Allah yang maha satu yang mendasari segala perbuatannya. Maka segala perbuatan yang senantiasa dikaitkan dengan Allah maka otomatis itu baik, karena selalu bertanya “Allah ridha atau tidak”, jika perbuatan kita hanya mendasarkan dengan kepentingan kita saja, yang ada ukurannya belum tentu baik. Maka setiap orang yang berbuat ikhlas akan tampak sejuk wajahnya, murni sikapnya karena orisinilitas sikapyany yang begitu ikhlas. Ikhlas juga bukan berarti nerima ing pandum tanpa obah (menerima bagian dengan apa adanya tanpa usaha). Namun ikhlas mencari rezeki dangan cara yang halal juga merupakan bentuk keikhlasan yang perlu ditanamkan dalam benak kita. Karena cara halal tidak hanya menentramkan bathin kita, tapi membahagiakan dan meyelamatkan bagi keluarga kita. Ikhlas Jalan Kebahagiaan Terkadang kita menginginkan sesuatu untuk menjamin kebahagiaan kita. Setelah memilikinya barulah kita merasa berbahagia, namun tidak sampai disini kita ingin lagi dan ingin lagi kebahagian-kebahagiaan yang lainnya, demikian seterusnya kita ulang dan kita ulang lagi. Lihat saja saat kita menginginkan mobil, rumah dan materi lainnya. Padahal jika kita mau tahu ternyata kebahagiaan itu ada pada perasaan, perasaan puas dan nyaman, setelah memiliki ya sudah, kita menginginkan lagi kebahagiaan yang lainnya. Perasaan puas ini merupakan perasaan yang telah terbungkus oleh kerelaan menerima, baik itu kerelaan menerima kesenangan maupun kerelaan menerima ujian. Karena boleh jadi orang telah mendapatkan kesenangan namun belum tentu bahagia, itu karena ia belum rela, kenapa belum rela?, karena belum ikhlas dengan pemberian Allah yang diberikan kepadanya, ia baru merasa semua adalah karena usahanya, bukan karena Tuhannya. Namun jika seseorang mendapatkan sesuatu, ia merasa ada kehendak Allah di atas kesenangan dan kelimpahan hidupnya, maka keikhlasanlah yang akan menuntun kebahagiaannya. Sehingga ia mudah mensyukuri, ia mudah memberi, ia ringan untuk beribadah dan ia mudah untuk mendapatkan ide-ide kreatif untuk menjadi semakin bahagia. Ikhlas Menyejukkan Diri dan Sekitarnya Tentang urusan ikhlas ini, sesuatu yang lembut namun memberikan dampak yang besar. Kenapa ?, karena feadbeck dari sikap ikhlas ini tidak hanya kepada diri sendiri, namun kepada siapa yang melihatnya dan siapa yang merasakannya. Ikhlas merupakan embun bagi setiap orang yang tengah dalam kesulitan, bagi orang yang tengah dalam kebimbangan dan menyejukkan hati siapa yang menyentuhnya. Ia datang beserta kesadaran nyata, adapun kesadaran datang karena pengertian/pemahaman akan sebuah pengetahuan, bukan doktrin-doktin buta, namun tranformasi keilmuan yang menghembuskan jiwa ikhlas. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?. Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu (QS. Alam Nasyrah : 1-2) Melapangkan dada senyatanya tidak mudah, jika kita sedang dikuasai oleh hawa nafsu. Namun manakala kita melatih diri untuk melapangkan dada saat mendapatkan ujian, maka kesejukan ikhlas akan terasa dingin, mendinginkan suasana galau, suasana kacau dan menurunkan depresi. Berikut ini beberapa sikap cerminan ikhlas yang dapat menyejukkan diri dan sekitarnya : 1. Pema’af Memberikan permaafan kepada orang lain merupakan kesejukan tersendiri bagi si penerimanya. Namun kenyataan dalam kehidupan tidaklah mudah, karena memafkan harus mengalahkan penyakit hati yang namanya “dendam” dan “benci”. Dendam dan benci bagaikan bara api yang berkobar-kobar, sedangkan memaafkan penuh keikhlasan bagaikan air yang menyejukkan. Jadi kita akan bisa melihat betapa orang yang ikhlas dalam memaafkan akan tampak bersahaja dan menyejukkan. 2. Bersegera meminta ma’af jika bersalah Kesalahan, kecerobohan dan kelalaian menjadi pemicu kebencian seseorang kepada kita. Apalagi kesalahan yang disengaja, maka jika kita melakukan kesalahan, baik sengaja atau tidak maka bersegeralah meminta ma’af. Itupun butuh kesadaran akan kesalahan, jika tidak, maka kebencian dan dendam orang atas kesalahan kita menjadi semakin besar dan memanas. Dengan segera menyadari kesalahan maka akan air suasana, akan kembali damai, namun tidak lantas hanya minta ma’af, tapi meninggalkan tanggung jawab, justru tanggung jawab ini adalah bukti sesiusnya kita meminta ma’af. 3. Berperasaan positif Segalanya butuh proses, baik itu sebuah pemahaman maupun sebuah kesuksesan. Kita tidak bisa memaksakan apa yang kita pikirkan kepada orang lain, karena orang lain juga punya pikiran dan perasaan. Jadi berperasaan positif terhadap segala proses kehidupan akan menjadikan kita lebih tajam mengambil keputusan, karena kita senantiasa mengikhlaskan proses yang kita bangun dan mengikhlaskan hasil yang ditentukan oleh Allah. Ikhlaskan saja semuanya, berperasaan positif terhadap semua ujian dan anugerah karena ada maksud dan hikmah dalam setiap peristiwa. 4. Bersikap sepenuh hati Melakukan sesuatu sepenuh hati, berarti tidak ada kepalsuan sikap, namun melayani, mengerjakan dan membantu dengan rasa tulus yang mendalam. Inilah aksentuasi keikhlasan yang tampak memberikan pengaruh besar bagi diri dan apa yang kita perjuangkan. Segenap manusia membutuhkan damai, maka berilah maaf bagi siapa yang meminta maaf dan bersegeralah meminta maaf jika kita bersalah. Kita semua butuh sukses dalam hidup maka bangunlah proses dengan penuh ketulusan dan lakukanlah semua dengan sepenuh hati, maka kehendak Allah akan membimbing kita sukses dan tetap pada jalanNya.

Tazkiyah

 

We are featured contributor on entrepreneurship for many trusted business sites:

  • Copyright © RAHMATAN LIL ALAMIN 2015
    Distributed By My Blogger Themes | Designed By Templateism