Ad (728x90)

Sabtu, 05 November 2011

Memaind Set Haji


Menghajikan Hati
oleh : Rofiq Abidin
 Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim, barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji  adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
(QS. Ali Imran : 97)

Haji menjadi sebuah cita-cita mulia bagi segenap Umat Islam, namun tidak semua dapat menjaga cita-cita itu. Melihat teman, sahabat atau kerabat kita yang sedang akan menunaikan ibadah haji, timbul kerinduan yang membuncah untuk memenuhi panggilan Allah SWT. Hati bergetar mendengar kalimat talbiyah seraya mendo’a semoga suatu saat nanti dapat memenuhi panggilan Allah tersebut. Hati yang selalu rindu untuk memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji inilah yang insya Allah dapat menguatkan kemauan dan kemampuan (istito’ah) sampai terwujud. Terkadang kesuksesan seseorang diukur dari seberapa besar dan lengkap  rumahnya, seberapa mewah mobilnya atau seberapa tinggi pangkatnya, namun dalam hatinya tidak terketuk sedikitpun untuk menunaikan ibadah ini sehingga haji menjadi panggilan Allah yang kesekian kalinya, setelah kita dapat memenuhi keinginan dunia kita, sedangkan kemampuan yang menjadi syarat utama menunaikan haji tidak didukung oleh kemauan kuat kita. Menghajikan hati mungkin memang hanya sebuah istilah, namun hati yang senantiasa rindu untuk menunaikan haji dan orang yang telah berhaji selanjutnya hati dan sikapnya sesuai dengan pengamalan haji adalah hati yang lurus dengan seruan Allah. Mengapa dikatakan di dalam haji “man istatha’a ilaih sabila (bagi yang mampu menempuhnya)?” karena haji merupakan ibadah jasmani dan harta. Ibadah haji perlu mengeluarkan harta untuk berpindah (melakukan perjalanan) dari negerinya ke wilayah Al Haram di tanah suci, karena ritual (syiar) haji dilaksanakan di sana, karena itu ia sangat memerlukan harta (biaya) yang banyak, karena itu Allah berfirman: “Bagi yang mampu melakukan perjalanan haji”. 
Gelar Haji atau Haji Mabrur
Sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat Indonesia bahwa bagi siapa yang telah menunaikan  rukun islam yang kelima ini, yakni haji, maka masyarakat memberikan gelar  Haji atau Hajjah (bagi wanita).  Mabrur berasal dari kata birr, birrun; artinya “baik, bersih dan diterima”. Maka haji mabrur secara terminologis bermakna “haji yang baik, bersih dan diterima oleh Allah SWT”. Haji mabrur merupakan sebuah predikat tertinggi dari kegiatan melaksanakan ibadah haji. Untuk mendapatkannya, setiap calon haji harus melalui perjuangan ibadah yang sungguh-sungguh, terutama dalam hal penguasaan hati. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah 197 :

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Tiga rambu-rambu yang harus dipatuhi agar seorang calon haji bisa meraih predikat haji mabrur: 
1.      Jangan sekali-kali mengucapkan kata kotor yang merendahkan martabat orang lain.
2.      Tidak boleh berbantah-bantahan atau membuat permusuhan dengan siapapun sesama jamaah.
3.      Tidak boleh berbuat fasik, yaitu merugikan orang lain. Bahkan sekalipun dengan alasan untuk mendapatkan pahala yang lebih besar, ternyata justru menyakiti orang lain. Misalnya berebutan pada waktu usaha menuju Hajarul Aswad di sisi Ka’bah dan Raudhah di Mesjid Nabawi Madinah, dua situs sempit yang justru paling disesaki jamaah. Atau demi mengejar pahala sholat arbain (40 waktu) tetapi tidak peduli dengan anggota jamaah yang sakit untuk mengantarkannya ke dokter / rumah sakit.
Ketiga rambu di atas sering menjadi ujian di tengah pelaksanaan ibadah haji, dengan berbekal takwa dilatih bersabar, tetap khusyuk tanpa diganggu penyakit hati. Ujian lainnya yang tak kalah penting adalah menghindari godaan berbelanja barang-barang sebagai buah tangan saat kembali ke tanah air. Apalagi, tawaran berbelanja ini sudah muncul sejak para jamaah mendarat di tanah suci, belum lagi kalau ingat titipan dari sanak keluarga dan teman di kampung halaman. Perkara yang sebenarnya manusiawi tetapi apabila tidak pada proporsinya bisa menggeser fokus hati dalam beribadah haji. Ingatlah kita datang kembali ke tanah air bukan ingin dipanggil Pak Haji atau Bu Hajjah, tapi sepulang dari tanah suci bathin dan langkah kita menuntut untuk meningkatkan amaliah kita melebihi orang yang belum melakukan ibadah haji, bahkan mungkin masyarakat juga akan menuntut kehajian kita. Bukan gelar atau predikat haji yang kita cari, tapi predikat “mabrur” dari Allah yang kita harapkan. Maka kita dipanggil haji atau tidak yang penting Allah memberi predikat mabrur. Bagaimana Allah memberi predikat itu, tentunya Allah mengevaluasi mulai dari niat kita, pelaksanaan ibadahnya dan pengamalan sesudah melaksanakan haji.

Menghajikan Hati Kita
Mind set haji tetaplah kita tanam dalam-dalam, jangan hanya kita pandai me-mind set mobil, rumah atau gemerlap dunia lainnya,  yang kita anggap sebagai ukuran kesuksesan, sehingga kewajiban yang satu ini dinomersekiankan. Karena jika diri kita sudah diberi Allah “kemampuan”, tinggal kita cari kesempatan untuk menunaikannya. Maka sebelum dan sesudah menunaikan ibadah haji marilah menghajikan hati kita, dalam makna bersihkanlah hati kita dengan memurnikan niat,  kemudian kendalikan hati kita saat menunaikannya dan hiasilah hati kita dengan amalan-amalan haji sepulang dari haji. Bagi yang belum bisa menunaikan ibadah haji secara ritual, hajikanlah hati anda dengan terus menjaga cita-cita untuk menunaikannya, kuasai rukun dan amalan-amalan haji serta kerjakanlah amalan-amalan haji dalam kehidupan sehari-hari. Adapun rukun  haji yang dapat kita ambil hikmahnya adalah sebagai berikut :
1.      Ihram, yaitu pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji atau umroh dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umroh di miqat.
2.      Wukuf, yaitu berdiam diri, dzikir dan berdo'a di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah.
3.      Tawaf Ifadah, yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah.
4.      Sa’i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali, dilakukan sesudah Tawaf Ifadah.
5.      Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i.
6.      Tertib, yaitu mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal.

Lima rukun haji tesebut di atas marilah kita kuasai dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ihram merupakan permulaan yang baik, mari kita mulai semua amalan keseharian dengan niat yang baik, dengan sarana yang suci dan halal. Jadi biasakan kita mencari sarana/fasilitas dengan cara yang halal dan suci, karena semua aktivitas kita dalam rangka beribadah kepada Allah semata. Selanjutnya, wukuf, sering-seringlah kita berdzikir karena Allah sangat menganjurkan untuk memperbanyak dzikir, bukan do’a saja yang diperbanyak. Dzikir dan do’a ibarat hak dan kewajiban. Mari kita perbanyak dzikir dan perjelas do’a agar mind set kita untuk menunaikan haji dapat Allah ijabah. Kemudian tawaf, mengelilingi baitullah, mari kita “saba” (datangi) masjid dan kita usir nafsu malas dengan melempari syetan yang terus berbisik mengajak kepada kejahatan dan kedholiman. Sa’i, adalah berlari-lari kecil, kita ingat betapa sejarahnya, bahwa Ibu Hajar adalah seorang yang tidak pernah berhenti berikhtiar. Jadilah penyabar walau dalam keadaan kering, ditinggal orang yang kita sayangi, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar berikhtiar dan akan mencukupkan keperluannya. Tahallul, disamping makna kerapian, maka tahallul bisa kita ambil hikmah dengan mencukur pemikiran-pemikiran yang kotor atau rencana-rencana jahat, sehingga kita gunakan kecerdikan kita untuk kebaikan. Yang terakhir adalah tertib, mari kita jalankan semua amalan kita dengan tertib berdasarkan ilmu dan sesuai dengan prinsip-prinsip Ilahiyah.

Setidaknya ini adalah ikhtiar penulis untuk tetap me-mind set haji, agar suatu saat dapat memenuhi panggilan Ilahi. Karena Haji adalah panggilan, pun dunia juga memanggil-manggil kita untuk memilikinya, namun panggilan Haji menjanjikan kenikmatan yang melebihi dunia. Mudah-mudahan kerinduan haji yang membuncah dalam hati kita dapat terwujud saatnya nanti sebelum Allah memanggil nyawa kita. Semoga bermanfaat.

Ini Ceritaku...


Hidup Kedua
Baiklah...saya juga mau cerita...ini fakta. Sewaktu aku masih usia belasan tahun, seingat saya masih kelas satu SMP.  Saya lagi senang-senangnya melihara burung dara, tahu kan? merpati, saampai mencapai hampir 30 an gitu lah.. Beberapa kali terakhir,merpatiku pada bertelor, namun setelah menetas, eh piyek (anak merpati) selale saja dimakan
oleh kucing, karena terbangnya belum terlatih. Nah pada suatu saat menetas lagi, aku rawat dan aku jaga baik2, aku latih ia terbang dan alhamdulillah ia bisa, betapa senangnya aku saat itu, dia nurut banget sama aku. Namun apa yang terjadi, saat pagi hari, tanggal 27 Ramadhan, saya melatih kembali merpati ini, eh tahu tahu dia terbang ke arah sumur, maka terjatuhlah ia...aku pun kaget...wah merpatinya terjatuh! teriakku...yang saat itu ada adik saya. Kamipun berencana  mengambil merpati kecil ini, aku putuskan untuk masuk ke dalam sumur yang kedalamannya sekitar 17 meter, yang  emang sumur ini aku ikut menggalinya. Tali timbapun saya pengang dan adik saya menjaga di atas sumur.  erlahan-lahan akupun masuk sumur tanpa hambatan, namun sampai bawah lubang tangga sumur untuk membantu turun telah habis, namun dengan sabar akupun bisa turun hingga kakiku mampu  engangkat merpeti kecil yang hampir mati ini, kuletakkanlah merpati ini di timba kecil, lalu diangkatlah keatas  timba ini bersama merpai kecil oleh adik saya. Namun saya di bawah mau naik kebngungan tanpa alat apapun untuk naik, akhirnya akupun terjatuh "jegurrrrrr", nafasku mulai sesak, sambil memanggil adik saya agar segera menurunkan timbanya, namun adik saya panik dan meninggalkan saya, memanggil bapak. Akhirnya diatas kulihat sayu-sayu "tampak keramaian", Bapak saya mau ikut turun  enyelamatkan aku, namun ibu pun melarang untuk turun. Karena kehabisan nafas dan sesak sekali rasanya aku asarah  dan berucap "Ashadu an lailaha Illallah waashadu anna muhammadarosuullah, Ya Allah ampuni segala osaku, Ibu, bapak, adik-adikku dan semuanya maafkan segala salahku", ucapku lirih...namun tiba-tiba  apala saya kejatuhan timba "cethok",saya pun kaget...dan mendengar teriakan "pegang kuat tali timba itu", maka ku pengang..dan aku diangkat dengan sangat cepat samapai tanganku terjepit poros yang igunakan untuk menaik turukan timba. Alhamdulilah saya selamat..namun anehnya saya merasa tidak minum air dan akupun melanjutkan puasa...semoga bermanfaat..

Selasa, 11 Oktober 2011

Semangat Muda...


Pemuda Sang Metamorfosa
oleh : Rofiq Abidin


Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” (Al Anbiya (21) : 60)
Tak bisa dinafikkan bahwa pemuda memiliki peran besar dalam perkembangan perubahan di dunia. Nabi dan Rosul yang diutus oleh Allah merupakan manusia pilihan yang sejak usia muda telah memiliki peran terhadap perubahan pada eranya masing-masing. Sebut saja Nabi Ibrahim Alaihi Salam, pemuda militan yang memiliki keberanian tinggi mengubah kiblat pemikiran dan paganisme masyarakat yang mengagung-agungkan berhala,  Ibrahim menghancurkan “berhala-berhala” kecil, lalu menggantungkan kapaknya ke “berhala” yang paling besar untuk memberikan pelajaran kepada kaumnya bahwa menyembah berhala itu (tuhan selain Allah SWT) sama sekali tidak bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Nabi Yusuf sosok pemuda tampan yang memiliki keistikomahan karena tak tergoda nafsu, meski kesempatan ada. Yusuf tak mau meladeni  wanita (Zulaikha) yang terus menggodanya. Ketika Yusuf digoda, ia justru berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Nabi Muhammad SAW sosok manusia paling berpengaruh di dunia, pada masa mudanya adalah sosok Al Amin (terpercaya) karena kejujurannya dalam bergaul, dalam berbisnis dan dalam mengemban amanah. Keberanian, keteguhan dan kejujuran hendaknya menjadi modal utama para pemuda untuk mendongktak tafkir (pola pikir) yang kurang maju dan tindakan yang keluar dari nilai-nilai keIslaman.
Potensi Pemuda
Kesempatan muda memang jangan kita sia-siakan, karena waktu takkan bisa diulang walau sedetik saja, maka kesempatan dan potensi pemuda hendaknya kita pergunakan dengan sebaik-baiknya. Mari kita cermati potensi para pemuda, yang pertama tentunya “semangat” yang selalu menjadi obor perjuangan apa saja untuk meraih tujuan dan cita-cita. Semangat yang menggebu-gebu bisa menjadi pemicu orang-orang sekitarnya bagai virus yang menular, namun perlu memperhatikan arah dan tujuan perjuangan. Yang kedua adalah “keberanian”, tentunya sebuah perubahan tidak akan terjadi manakala tidak ada yang berani memulainya. Yang ketiga adalah “ide-ide brillian”, kecerdasannya masih sangat perlu diasah dan digali, karena masih fresh dan hausnya terhadap ilmu mengantarkannya menyimpan ide-ide brilian yang akan menjadi referensi solusi yang efektif dan efisien. Setidaknya tiga potensi ini akan menjadi titik awal sebuah perubahan dalam sebuah perjuangan, marilah kita berikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi generasi yang akan menjadi penerus bangsa.

Peran Pemuda dalam Sejarah Bangsa
Di antara para pemuda di zaman Rosulullah Muhammad SAW saat membangun negeri Madinah Al Munawaroh yang sangat berjasa terhadap perkembangan da’wah dan peradaban Islam adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr ibnul Ash, Muadz bin Jabal, dan Zaid bin Tsabit, mereka ini telah menyerap dari Rasulullah SAW berbagai ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan Islam selanjutnya. Di sisi lain ada Khalid ibnul Walid, Al-Mutsanna bin Haritsah, Asy-Syaibany dan selain mereka yang gigih dalam menyebarkan Islam lewat medan pertempuran jihad di jalan Allah SWT.
Selanjutnya tak hilang dari benak kita bahwa sejarah Indonesia juga telah mengalami perubahan besar pada saat para pemuda Indonesia bergerak aktif dan peduli dengan bangsanya. Sebut saja pada 28 Oktober 1928 para pemuda yang dipimpin oleh Mohammad Yamin mengikrarkan perihal yang sangat penting bagi kelangsungan Negara Indonesia yang notabene memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dan masyarakatnya yang begitu plural. Dari sebuah titik ikrar “Sumpah Pemuda” maka selanjutnya terbentanglah garis lurus dari Sabang sampai Merauke menjadi wilayah kesatuan Republik Indonesia.

Pemuda Sang Metamorfosa Perubahan
Rasulullah SAW bersabda dalam haditsnya, “Tidak akan beranjak kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang 5 (perkara) : Tentang umurnya dimana dia habiskan, tentang masa mudanya dimana dia usangkan, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia keluarkan dan tentang apa yang telah dia amalkan dari ilmunya”. (HR. At-Tirmizi)
Masa muda masa yang paling indah, begitu kira-kira celoteh anak zaman sekarang. Mungkin dalam benaknya ingin menikmati hidup dengan foya-foya saja atau menikmati masa keemasannya dengan karya-karya yang tidak akan bisa dilakukan pada masa tuanya. Setiap kita pun akan memilih berdasarkan kebutuhan dan tujuan hidup masing-masing. Masa muda adalah masa emas dimana saat muda memiliki minimal tiga hal di atas, semangat, keberanian dan kecerdasan. Maka kepada generasi muda, nikmatilah masa muda dengan memproses diri menjadi generasi unggul yang berperan bagi kehidupan bernegara dan kelanjutan da’wah Islam. Adapun karakteristik pemuda yang akan menjadi metamorfosa perubahan setidaknya memiliki beberapa hal berikut :
1.      Tagyirun Nufus
Aktualisasi diri merupakan kebutuhan hidup utama seseorang jika ia ingin memiliki eksistensi hidup yang dinamis. Dengan bekal semangat untuk tagyirun nufus (mengubah diri menjadi lebih baik), maka pemuda ini sadar akan pentingnya perubahan diri dan lingkungannya demi eksistensi kehidupan selanjutnya. Pemuda ini akan senantiasa memiliki visi ke depan (visioner), suka tantangan dan tidak cengeng dengan keadaan. Tagyirun nufus yang dilakukan seorang pemuda hendaknya dilakukan secara seimbang dan dinamis. Adapun yang perlu terus diubah dalam hidupnya adalah :
a.       Sikap, dalam setiap tindakan seseorang menyimpan niat dan kepentingan, maka setiap niat baik yang selanjutnya diamalkan terkadang didapati kekurangsempurnan. Disinilah kita mengubah sesuatu yang belum sempurna menjadi lebih sempurna, yang belum efektif menjadi lebih efektif dan yang belum maksimal menjadi optimal. Tagyirun nufus menjadi spirit perubahan dalam setiap niat, sikap dan hasil yang kita peroleh.
b.      Kemampuan dan ketrampilan (istito’ah dan maharoh), dalam era penuh kompetitif ini, maka keahlian menjadi faktor penting untuk meraih kesuksesan dan eksistensi hidup. Maka pemuda hendaknya memiliki kemampuan dan ketrampilan tesendiri dan terus diasah menjadi lebih piawai, sehingga tagyirun nufus terus berjalan seiring dengan perubahan zaman.
c.       Hubungan (silah), pergaulan anak muda sering menjadi perhatian pihak orang tua, jika pergaulan salah maka berdamak negatif bagi jiwa, sikap dan mentalnya, namun jika pergaulan benar maka berdampak positif bagi perubahannya kedepan. Maka perlu kiranya dalam tagyirun nufus membangun silah (hubungan) baik dengan rekan bisnis dan komunitas sosial lainnya, namun perlu memperhatikan fungsi dan kualitas pertemanan.
2.      Hubbul wathan, mencintai negara merupakan bagian dari iman, maka pemuda yang memiliki patriotisme tinggi akan memiliki spirit dahsyat mengubah diri demi kemajuan bangsanya, sehingga ia akan bermetamorfosa menjadi generasi yang cinta negara dan punya rasa memiliki yang tinggi terhadap negaranya.
3.      Suja’ah, berani berinovasi, berani menyampaikan pendapat, ide dan kebenaran serta berani memegang teguh prinsip kebenaran akan menjadikan seorang pemuda tangguh yang mengubah pola pikir kurang maju dan kurang inovatif yang dipengaruhi oleh ketakutan untuk berubah.
4.      Akhlakul Karimah, merupakan visi nabi yang diutus untuk umat manusia, maka pemuda yang memiliki akhlakul karimahlah yang akan mudah dipercaya mengemban sebuah amanah karena budi pekerti luhur adalah kunci profesionalisme. Jadilah pemuda yang berakhlak mulia, mulai dari niat, penampilan, sikap dan perilaku  yang menjadi tauladan bagi perubahan, jangan sampai perubahan kearah modern meninggalkan nilai-nilai akhlakul karimah.
5.      Istiqomah, teguh pendirian merupakan sikap para nabi dan rasul dan para tokoh dunia. Mereka kuat dan teguh memegang prinsip, sehingga selalu menjadi spirit dalam setiap ujian. Istiqomah dengan prinsip yang kita punya, akan berdampak tidak hanya kepada diri kita, namun secara tidak langsung juga akan berdampak bagi orang lain yang menteladani keteguhan kita. Pemuda yang istiqomah, inilah kunci dari empat proses metamorfosa di atas, semua butuh istiqomah agar perubahan kearah lebih baik terus berjalan signifkan.
Dengan demikian, wahai pemuda Islam, marilah bermetamorfosa menjadi generasi unggul demi perubahan dan kemajuan Islam dan Negara Indonesia. Semoga menjadi spirit bagi saya dan para pembaca untuk menjadi manusia yang lebih baik, dalam bersikap, berkemampuan dan dalam berperan.

Kamis, 25 Agustus 2011

Sabar itu bergerak


Tak Ingin Jawaban “Sabar”
Oleh : Rofiq Abidin
 “Pak, saya sedang banyak masalah, tapi saya gak mau dijawab hanya dengan kata ‘sabar’”, begitulah ungkapan kesal salah seorang teman saya, karena telah lelah mencari jawaban dari teman-teman dekatnya yang selalu dijawab sabar...’. Ya, kata sabar sering kita gunakan untuk menasehati teman, sahabat atau kerabat kita yang sedang terkena musibah, bencana atau bahkan masalah. Saya mengawali dari ungkapan berikut, “pada dasarnya setiap musibah yang menghampiri kita mengandung dua makna, yang pertama musibah itu datang karena efek perbuatan kita sebelumnya, sehingga itu adalah peringatan dari Allah, kedua, musibah itu datang karena Allah menguji kualitas diri kita melalui cara-Nya, lantaran kita akan diberikan anugerah yang lebih besar”. Dari jawaban ini dia justru makin penasaran.Selanjutnya apa yang harus saya lakukan”, ungkapnya. Segala sesuatu ada toriq (jalan keluar)nya, maka yang pertama, yakinlah bahwa masalah kita pasti ada solusinya, kenapa? karena tidak mungkin Allah menciptakan soal tanpa ada jawaban. Kedua, tenanglah, maksudnya ceritakan semua masalahmu kepada Allah. Ketiga, bangkitlah lalu tawakallah, karena Allah maha meluaskan dan menyempitkan sesuatu. Allah sudah berjanji dalam firman-Nya :

"Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia akan mencukupkan baginya (kebutuhannya).." (QS. Ath-Thalaq:3)

Subhanallah, masalah memang datang tak kenal kasihan, tak tahu apakah kita sudah siap menghadapinya atau belum, datang bagaikan ombak yang terus menghampiri pantai dan menabrak karang. Saat kita punya masalah terkadang kita tak butuh solusi, karena otak kita buntu hati kita berkecamuk, yang kita butuhkan adalah “bangkit” dan bangkit. Tawakal bukan berarti pasrah diam tapi meyakini bahwa Allah akan menjawab segala masalah kita melalui ikhtiar yang kita lakukan. Karena kehendak Allah adalah hasil penjumlahan ikhtiar manusia dengan eveluasi Allah. Jadi bangkitlah, karena semua masalah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, hadapi saja, karena keberanian dan positive feeling kita menghadapi akan mendatangkan pertolongan Allah yang tak masuk logika (tak disangka-sangka). Itu semua adalah buah kesabaran kita, karena sabar itu tak ada batasnya. Jika kita telah membatasi kesabaran kita, sesungguhnya kita sedang tidak sabar dengan apa yang kita hadapi.

Fitrah Manusia


Tetaplah dalam Fitrah
oleh : Rofiq Abidin

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Din Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) Din (agama) yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.  (QS Ar Ruum : 30)

 
 Penciptaan manusia pertama mendapat perhatian khusus dari makhluk Allah sebelumnya, ada yang menyayangkan karena takut berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, yang kemudian memberi penghormatan dan ada yang iri dan sombong karena merasa lebih baik, yang menjadikan ia membangkang kepada Allah. Dua sikap makhluk Allah ini merupakan simbol adanya sifat dan sikap yang baik dan salah, juga menjadi simbol ketaatan dan pembangkangan atas instruksi Allah. Dua sifat dan sikap ini menjadi bumbu-bumbu kehidupan manusia, terkadang manusia menerjang larangan Allah, kadang kala tetap dalam ketaatan kepada-Nya. Bagaimana dengan fitrah manusia? Apakah setiap manusia diciptakan dalam keadaan fitrah? Benar, setiap manusia yang lahir telahpun dalam keadaan fitrah. Sebelum mamahami lebih jauh mari kita pahami terlebih dahulu tentang fitrah. Secara etimologi fitrah adalah perangai, tabi’at, kejadian asli, agama, sehingga bisa kita simpulkan bahwa fitrah manusia  adalah tujuan asal dan sifat azali dari penciptaan manusia yang tidak ada perubahan. Lantas bagaimana korelasinya dengan Q.S Ar Ruum ayat 32 di atas?. Jika kita mau menelaah secara mendalam bahwa setiap manusia tercipta dalam keadaan fitrah, berarti manusia telah mengakui ketauhidan Allah dan kebenaran Islam sebagai din yang lurus. Maka dari itulah Al Qur’an ini merupakan petunjuk bagi manusia, bukan Umat Islam saja, inipun pernah dibuktikan oleh Rasulullah Muhammad SAW saat menerapkan Al Qur’anul Hakim di Yasrib yang kemudian di kenal dengan Madinah, sebuah tempat yang di dalamnya berlaku hukum-hukum Allah, walaupun memiliki ummat yang plural. Mari kita renungi firman Allah yang menerangkan bahwa setiap manusia telah menganggukkan dirinya bahwa Allah adalah Rabb-nya (pengaturnya), berikut ini kesaksian manusia dalam Surat Al A’raf ayat 172 :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (Al A'raaf  172)
Jelas bahwa sebenarnya manusia sejak lahir telah bersaksi atas keesaan Allah dan pengakuan tentang ketuhanan Allah, inilah yang menjadikan manusia dalam posisi fitrah, ia bersih dan suci karena jiwanya telah mengakui keberadaan Allah sebagai Rabbul ‘alamin. Selanjutnya, tergantung manusia bisa tetap menjaga kefitrahannya atau justru jauh dari fitrah Allah. 
Berada dalam Fitrah
Berada dalam kondisi fitrah merupakan kondisi yang sangat bersih dan suci, namun lagi-lagi kefitrahan manusia tidak akan dibiarkan begitu saja oleh musuh bebuyutannya yakni “iblis”, ia tidak akan pernah rela manusia dalam keadaan fitrah. Sehingga manusia selalu saja ada godaan dalam setiap niat dan amal kebajikan, inilah yang mengotori kefitrahan manusia. Adapun  kondisi fitrah yang pernah kita rasakan saat bayi adalah kondisi asli manusia, tulus dalam berbuat. Namun orang tuanyalah yang menjadikan manusia itu tidak fitrah, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi. (HR Bukhori)
Bisa kita simpulkan bahwa kondisi fitrah yang dimaksud Rasulullah adalah kondisi dimana manusia tetap memegang teguh kesaksian keesaan Allah yang pernah dikomitmenkan pada saat sebelum lahir, yakni mengakui Allah sebagai Tuhan dan Islam sebagai Din yang lurus. Berarti bisa kita simpulkan bahwa ada dua kondisi kefitrahan manusia, yakni :
1.      Saat bayi, dimana kita bagaikan kertas putih tanpa dosa satupun
2.      Saat kita berada pada Dinul Hanif (din yang lurus), dimana manusia berada dalam pengakuan keesaan Allah dan mengikuti  rubbubiyah Allah yakni Al Qur’anul Hakim yang telah mengatur kehidupan manusia di bumi, sehingga manusia mendapati tempat yang aman dan sejahtera lahir dan bathin.

Sudah Fitrahkah Kita?
Jika kita telah mengetahui bagaimana kondisi yang fitrah, maka kita perlu bermahasabbah (mengevaluasi diri) apakah kita sudah fitrah?. Ada dua cara untuk mengevaluasi diri apakah kita sudah fitrah atau belum ?. Yang pertama, cobalah rasakan benarkah kita tetap mengesakan Allah dan bersih dari dosa, sehingga ketulusan itu selalu hadir dalam berbuat, selalu menggantungkan urusan kita kepada Allah SWT. Yang kedua, sudahkah kita berada di dinul hanif, dinul Islam, dinul haq yang diridhoi oleh Allah SWT?, berada pada dinul hanif, berarti kita telah lurus dan tulus menjalankan rubbubiyah/aturan/hukum Allah. Mari kita bermahasabbah dengan tulus demi mendapatkan kefitrahan kita kembali.

Menjaga Kefitrahan Manusia
Seburuk apapun nilai kita, tetaplah berdamai dengan hati kita, akui kita sebagai manusia yang tak luput dari dosa, maafkan diri kita, karena dengan berani mengakui sebuah kesalahan kita akan menemukan kesadaran untuk berubah lebih baik. Inilah awal pencarian kesejatian kita untuk menemukan kembali kefitrahan kita sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Ada beberapa hal yang perlu kita ikhtiarkan bersama agar diri kita tetap dalam fitrah Allah :
1.      Menjaga syahadat (kesaksian) akan keesaan Allah SAW, dengan menghindari sikap-sikap sirik baik dalam prinsip maupun dalam teknis. Syirik kepada Allah, merupakan sikap yang tidak yakin atau mengurangi keyakinan tentang keesaan Allah, termasuk juga sikap yang memecah belah ummat sebagaimana dalam surat Ar Rumm ayat 31 dan 32, setelah diterangkan tentang fitrah manusia.
2.      Lurus dengan dengan dinul Islam, yakni tetap teguh menerapkan rubbubiyah Allah secara total dalam kehidupan, baik secara ritual spiritual maupun dalam kehidupan aktual sebagaimana Rasulullah SAW menerapkan dalam kehidupan nyata di Madinah.
3.      Raih “maghfiroh” dari Allah, dengan istighfar kepada Allah secara ikhlas. Tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat dosa, yang ada adalah manusia yang bersih dari dosa karena magfiroh (ampunan) Allah SWT. Dengan selalu beristighfar kepada Allah kita akan dapat menjaga kefitrahan kita, kesucian kita, karena menjaga itu perlu perjuangan lebih keras dari pada meraih. Ada tiga fase yang perlu kita lalui untuk meraih magfiroh Allah :
a.       Evaluasi diri, dengan berani jujur mengevaluasi kita akan mau dan sadar atas kesalahan/dosa kita, sehingga kita ada dorongan untuk berubah dan beristighfar kepada Allah, tanpa ini istighfar kita hanyalah istighfar palsu, cuma di lisan tapi setelah itu kembali berbuat dosa. Mari kita jujur mengevalusi diri kita.
b.      Pengakuan diri, berkomitmen dalam hati maupun lisan untuk memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat.
c.       Tidak mengulangi kesalahan, ini adalah bukti istighfar kita, yakni tidak kembali mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, karena percuma kita beristighfar namun dosa yang sama kita lakukan dan kita ulangi.
Tentunya meraih hidayah Allah menjadi kunci awal sebuah perubahan seorang manusia, namun hidayah tidak datang begitu saja, ada ikhtiar, ada evaluasi Allah kepada hamba-Nya hingga Dia menurunkan hidayah-Nya. Mari kita temukan kembali kefitrahan kita, kemudian kita menjaganya dengan tetap teguh akan keesaan Allah, lurus dengan din yang Allah ridhoi yakni Islam dan selalu sadar saat kita melakukan kesalahan, sehingga kita ringan untuk memohon ampun kepada Allah SWT. Semoga ikhtiar ini menjadi penuntun bagi para pembaca, lebih-lebih bagi penulis agar senantiasa berusaha berbuat lebih baik, lebih bijak dan lebih bermanfaat.

 

We are featured contributor on entrepreneurship for many trusted business sites:

  • Copyright © RAHMATAN LIL ALAMIN 2015
    Distributed By My Blogger Themes | Designed By Templateism