Memilih
Takdir
Oleh : Rofiq Abidin
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan
(semua mahluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian memberikan petunjuk (mengarahkannya).” (QS. Al A’la 1-3)
Membicarakan masalah takdir dari meja ke meja tak akan pernah ada habisnya, karena perihal yang satu ini adalah perihal yang tampak rumit dan bisa menimbulkan perdebatan yang kontraproduktif, namun jangan sampai mengurangi keyakinan kita pada Rukun Iman yang keenam yakni beriman kepada qadha’ dan qadar. Pada zaman Rasulullah SAW keyakinan tentang takdir sangat kokoh dan Rasullah SAW tetap melakukan ikhtiar dan mengajak umatnya menyingsingkan baju untuk berusaha meraih takdir terbaik. Dalam perangpun juga masih perlu melakukan perjuangan untuk mendapatkan kemenangan, tidak semata-mata meyakini takdir, lantas kemudian pasrah apa adanya dalam berjuang. Pemahaman tentang qadha’ dan qadar sangat tepat pada zaman Rasullah karena mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah SAW. Kata takdir (taqdir) berasal dari kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi penilaian atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah menakdirkan demikian, "maka itu berarti," Allah telah memberi penilaian / ukuran / batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya. Pada dasarnya Allah telah menetapkan rumus-rumus kehidupan secara global, inilah yang disebut “qadha’, seperti setiap manusia pasti mati. Adapun qadar adalah rumusan-rumusan Ilahi secara rinci, seperti manusia akan mati seperti apa dan bagaimana. Jadi qadha’ dan qadar adalah sistem Allah yang dibuat yang berlaku di dunia ini pada siapapun dan apapun. Hanya kita sebagai manusia dipersilahkan untuk memilih taqdir, mau beriman silahkan, mau ingkar juga bias, masing-masing ada taqdir-Nya. Allah menghendaki kita memilih taqdir yang terbaik buat kita. Sedangkan alam raya ini tidak bisa memilih Taqdir-Nya. Mari kita tela’ah firman Allah berikut ini :
“dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua” (QS. Yaa Sin : 38-39)
Alam raya ini hanya mengikuti takdir Allah yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa bisa memilih, karena satu yang tidak dimilikinya namun dimiliki oleh manusia, yakni “akal” yang dalam Q.S 16:78 meliputi pendengaran, penglihatan dan perasaan. Jadi matahari dan bulan berjalan sebagaimana garis edarnya, itulah rumusan Allah yang telah ditetapkan untuknya.
Rumus Ilahiyah
Jika kita bicara rumus maka ia adalah sesuatu cara
yang pasti dalam menentukan suatu nilai tertentu. Nah, takdir adalah
rumus-rumus Allah yang telah dirancang berdasarkan ukuran-ukuranNya yang pasti adil dan pasti akurat. Alam semesta ini
sengaja Allah hamparkan di muka bumi ini agar kita bisa memilih dan menemukan
taqdir yang terbaik untuk kita. Pilihan
rezeki terbaik, jodoh terbaik, karir terbaik, kesejahteraan terbaik, nasib yang
terbaik dan lain-lain haruslah tetap
melalui usaha bukan menunggu
datang, nanti Allah yang akan mengevaluasi usaha kita dan mengarahkan kita pada
takdir terbaik kita. Kalau boleh saya gambarkan takdir itu seperti seperangkat komputer. Rumusan-rumusan Allah yang telah tertulis
itu adalah softwarenya, ikhtiar dan tawakal kita adalah gerakan tangan kita
yang mengotak-atik keyboardnya dan otak kita
yang mengatur keputusan memilih tombol yang mana, selanjutnya Allah mengevaluasi
ikhtiar kita dan diputuskanlah takdir kita. Jadi Komputer ini tidak akan
bermakna apa-apa manakala tidak ada gerakan dari tangan kita dan otak kita yang
memilih sesuai ilmu dan kebijakan kita. Boleh jadi kita telah berusaha
menggerakkan langkah dan memfungsikan otak kita dengan maksimal, namun ada
evaluasi Allah yang menghendaki kita untuk tidak mendapatkan nilai yang kita
harapkan, itupun juga yang terbaik dari ketentuan Allah yang diputuskan kepada
kita, karena Allah punya pertimbangan sendiri, karena Allah maha berkehendak.
Mungkin saja, niat kita kurang ikhlas, kita melupakan do’a atau mungkin usaha
kita ternyata melenceng dari rumusan Allah, padahal kita merasa sudah tepat.
Itu adalah bagian dari proses dan evaluasi Allah terhadap ikhtiar kita, jika kita
tetap sabar dan tawakal maka Allah akan
melipatgandakan hasilnya di kemudian hari, yang
pasti semua hasil takdir itu adalah yang terbaik untuk kita, karena Allah Maha Adil.
Memilih
Takdir Terbaik
Hidup adalah pilihan, keadaan kita hari ini adalah
efek dari pilihan-pilihan kita kemarin. Jadi tak perlu terlalu dalam menyesali
pilihan salah dari sikap kita pada masa lalu, yang perlu adalah mengambil
hikmah dari pilihan kita kemarin,
selanjutnya menetapkan sikap pada hari ini, demi masa depan takdir kita
selajutnya. Hanya kepada Alah tempat bergantungnya harapan, kita harus tetap
mengedepankan ikhtiar dan tawakal dan kita juga bebas memilih cara apa untuk
mencapai takdir yang kita harapkan. Namun hasil tetap di tangan Allah sesuai rumusan-rumusan yang telah
ditetapkan dan evaluasi-evaluasi adil-Nya terhadap cara-cara kita. Jika kita muslim maka pakailah
cara-cara islami, karena itu akan membawa ketentraman bagi bathin kita dan
keberkahan hidup, pun juga akan berefek di akhirat nantinya. Banyak pilihan-pilihan
yang terhampar di muka bumi, banyak
cara-cara yang berseliweran muncul di benak kita untuk mendapatkan takdir kita, namun cara-cara itu
sendiri juga ada rumusannya, apakah cara halal ataukah cara haram, itu juga
pilihan takdir, kita yang memilihnya. Pada dasarnya kita telah diberikan kadar
dalam memilih, karena Allah memberikan kita beban sesuai kesanggupan kita,
namun terkadang kita menerjangnya dengan memilih cara salah (menurut rumusan
Allah) yang mengakibatkan kita seakan tidak kuat, nah di sinilah perlunya kita mengimani “qadha’ dan qadar”, semuanya sudah diatur dalam rumus
takdir. Bukannya sudah tertulis kesialan kita, tapi ada evaluasi Allah yang
mengharuskan kita menerima ujian itu. Boleh jadi Allah hendak menaikkan derajat kita dengan menunda takdir kepada kita, atau boleh
jadi ada maksud Allah untuk menyelamatkan kita, karena Allah sayang kepada kita, jadi berprasangka baik saja kepada Allah,
itulah sikap bijak mukmin yang benar-benar mengimani Rukun Iman yang keenam
yakni “iman kepada qadha’ dan qadar”. Mari kita hayati Pesan Allah berikut ini :
"Allah telah menetapkan untuk segala sesuatu kadarnya" (QS Al-Thalaq [65]: 3)
Jelas bahwa Allah telah membuat ukuran/ kadar kemampuan atau yang bisa kita sebut takdir. Takdir/ kadar kemampuan kita telah diukur, kadar pilihan
kita juga menjadi penentu nasib kita, karena Allah akan mengarahkan kita
setelah kita mau melakukan gerakan perubahan terhadap nasib kita, jika tidak
adanya tindakan, Allahpun juga telah menetapkan takdir pada kita, yaitu tidak
mendapat apa-apa, lha wong kita gak berbuat,
mana mungkin kita dapat?
“Sesungguhnya
Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mau mengubahnya sendiri” (QS. Ar Radu : 12)
Jadi
pilihlah takdir kita, Allah yang akan mengarahkan kita, mengevaluasi ikhtiar
kita dan syukurilah hasil takdir kita yang telah ditetapkan oleh-Nya. Namun ingatlah bahwa dalam memilih takdir
itu terhampar banyak cara, tapi tetap ada
dua dalam rumusan-Nya, ialah cara yang halal atau cara
yang haram. Pilihlah cara yang halal, cara Islami karena itu akan membawa kita kepada
nilai kebahagiaan yang hakiki yakni ketenteraman hati dan kesenangan di akhirat nanti. Kiranya demikian ikhtiar
penulis, semoga bermanfaat dan apabila ada kesalahpahaman dalam penulisan,
marilah kita ambil nilai positifnya agar kita dapat tetap mengimani “qadha’ dan
qadar” yang telah Allah tetapkan bagi kita, bagi alam dan kehidupan ini.
0 komentar:
Posting Komentar